Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali membeberkan beberapa dampak negatif dari revolusi digital. Salah satunya, anak muda jadi useless atau tidak berguna. Namun, dia memiliki beberapa cara agar anak muda tidak kalah ditelan zaman revolusi digital.
Revolusi digital membawa berbagai perubahan besar dalam setiap aktivitas manusia. Hanya saja, setiap perubahan selalu membawa dampak positif dan negatif sekaligus. Proses yang terjadi dengan begitu cepat dan kemudahan yang diberikan melalui teknologi dikhawatirkan memunculkan generasi tak berguna atau useless generation.
Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali. Menurutnya, dengan berbagai perubahan yang bergerak semakin cepat akibat revolusi teknologi hari ini, membuat generasi muda terancam. Pasalnya, pendidikan mereka menjadi tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.
Lebih-lebih, sambungnya, pendidikan yang didapatkan oleh lulusan universitas ataupun sekolah vokasi ini hanya mengajarkan persoalan teknis, alih-alih pendidikan yang juga memicu peningkatan softskill dan hardskill sekaligus sehingga tetap relevan dengan setiap perubahan yang terjadi.
“Yang negatif dari revolusi digital adalah useless generation. Jadi, orang tidak bisa lagi belajar hanya karena (berharap) degree (gelar),” katanya dalam webinar, Jumat (17/9).
Mengenal Rhenald Kasali
Rhenald Kasali adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.Selain bergerak sebagai akademisi, pria bergelar Ph. D. dari Universitas Illonois ini juga produktif menulis. Buku-buku yang ditulisnya selalu menjadi perhatian kalangan bisnis dan dikoleksi oleh banyak orang dan hampir semua bukunya menjadi best seller.
1. Harus Terus Mengikuti Perkembangan Zaman
Menurutnya, agar para sarjana dan lulusan vokasi ini tetap relevan dan tidak menjadi useless generation, mereka harus mampu mengikuti berbagai perkembangan teknologi yang terjadi. Sehingga keilmuannya dan skill yang dimiliki mendapatkan tempat yang luas di pasar tenaga kerja.
Rhenald pun memberi contoh dari apa yang terjadi di keluarganya. Dia mengungkapkan, Ayahnya menjadi useless generation selama bertahun-tahun. Hal itulah yang membuatnya terus bekerja lebih keras sembari terus memperluas pengetahuannya tentang berbagai perubahan yang dipicu oleh teknologi.
“Ayah saya 40 tahun useless, makanya saya bekerja lebih keras dan belajar lagi, belajar lagi, belajar lagi,” ujarnya.
2. Gelar Tak Lagi Penting
Dia pun menjelaskan, di era di mana pendidikan dan ilmu pengetahuan dapat diakses oleh siapapun dengan murah dan mudah, gelar pendidikan yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tak lagi penting. Karena setiap orang dapat memperoleh pengetahuan dari berbagai platform digital.
Sehingga, ukuran berbagai perusahaan atau pasar tenaga kerja ke depan tidak akan lagi ditentukan oleh gelar kesarjanaan, namun berdasarkan pada keahlian atau skil yang dimiliki oleh masing-masing orang.
“Makanya muncul ledakan non-degree bagi mereka yang ingin mengendalikan hidupnya, karena belajar itu sekarang bisa murah dan mudah,” tukasnya.
3. Manusia Harus Melebihi dari Kecerdasan Buatan
Di samping itu, kecerdasan buatan atau artificial intelligence cepat atau lambat akan menggantikan peran manusia. Berbagai industri manufaktur, kata Rhenald, telah menerapkan kecerdasan buatan melalui perangkat robotik yang dapat bergerak secara otomatis dalam 24 jam sehari.
Sedangkan, tenaga manusia memiliki keterbatasan. Apalagi, dengan menggunakan perangkat keras seperti robot tersebut perusahaan akan lebih dapat mengefisienkan kerja-kerjanya dan menghemat anggaran. Oleh karenanya, untuk dapat bersaing di industri yang semakin maju tersebut, generasi muda harus memiliki skil yang mumpuni dan limitless.
4. Terus Menciptakan Inovasi Baru
Lebih jauh Rhenald mengatakan, untuk dapat terus relevan dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap entitas harus mampu berinovasi. Setiap orang, sambungnya, memiliki kesempatan yang sama di era digital ini untuk tumbuh lebih baik.
Pasalnya, segala informasi dapat diakses secara terbuka oleh siapapun di mana pun, tinggal bagaimana orang atau entitas tersebut memanfaatkannya untuk menciptakan sesuatu yang baru dan dibutuhkan oleh pasar.
Dijamin Efektif, Ini 7 Strategi Pemasaran Produk di Tengah Pandemi
“Kita enggak bisa enggak untuk berinovasi. Kita harus crate one with new people dan proses, dengan cara berpikir baru disitu. Karena kita harus keep it relevant,” ujarnya.
5. Kolaborasi Menjadi Kunci
Selain terus berinovasi, setiap orang harus memiliki pikiran terbuka, misalnya dengan cara berkolaborasi. Sebab, sambung, era digital seperti saat ini setiap perubahan dapat terjadi secara dinamis.
Menurutnya, tak ada tempat bagi setiap orang yang terus berpegang teguh pada idealisme dan menutup diri dengan setiap kemungkinan kolaborasi yang ada. Karena, baginya, pilihannya di masa ini hanya dua, merger atau diakuisi.
“Ada perusahaan yang tak bisa transform, itu sulit. Sekarang bagaimana caranya kerjasama atau beli perusahaan baru. Karenanya merger dan akuisisi menjadi yang biasa sekarang. Kalau enggak (kolaborasi) kita diakusisi,” ucapnya.
Reporter : Nanda Aria
Editor : Gemal A.N. Panggabean