JAKARTA, 6 Oktober 2024 – Nilai tukar rupiah diperkirakan akan bergerak dalam rentang terbatas pada perdagangan hari pertama minggu ini, yang diwarnai oleh berbagai laporan terkait inflasi, manufaktur, serta perkembangan ketenagakerjaan global.
Pada pekan lalu, rupiah mencatatkan kinerja positif dengan kenaikan 0,17%, meskipun investor asing banyak melakukan aksi jual di berbagai aset domestik, termasuk saham, obligasi, dan sekuritas bank sentral.
Berdasarkan perdagangan terakhir pekan lalu di pasar forward, kontrak NDF rupiah menunjukkan penguatan, baik untuk tenor satu minggu maupun satu bulan. Rupiah offshore ditutup pada kisaran Rp15.129 hingga Rp15.137 per dolar AS, sementara indeks dolar AS global sedikit melemah di level 100,38.
Prediksi Nilai Tukar Rupiah
Penutupan rupiah offshore tersebut sedikit lebih lemah dibandingkan dengan rupiah spot yang ditutup pada level Rp15.125 per dolar AS pada Jumat lalu, yang mengindikasikan bahwa rupiah mungkin akan mengalami sedikit tekanan dalam rentang terbatas.
Pada pembukaan pasar Asia pagi ini, rupiah forward terlihat stabil. Sementara itu, beberapa mata uang Asia lainnya, seperti ringgit, yuan offshore, dolar Singapura, dan won Korea, menunjukkan penguatan tipis masing-masing sebesar 0,13%, 0,09%, 0,05%, dan 0,05%.
Secara teknikal, rupiah berpotensi melemah dalam rentang yang sempit. Level support pertama diperkirakan ada di Rp15.140 per dolar AS, dan jika melewati level ini, target pelemahan berikutnya akan berada di Rp15.180 per dolar AS. Jika pelemahan berlanjut, rupiah berpotensi turun hingga Rp15.200 hingga Rp15.250 per dolar AS, yang menjadi level support terkuat.
Namun, jika rupiah mengalami penguatan, level resistance yang menarik untuk dicermati berada di Rp15.100 per dolar AS, dengan target penguatan selanjutnya di Rp15.070 per dolar AS. Sepanjang minggu ini, rupiah masih memiliki potensi penguatan yang optimis menuju level resistance di Rp15.000 per dolar AS.
Fokus investor minggu ini akan tertuju pada perkembangan ekonomi di Amerika Serikat dan China, termasuk laporan manufaktur dari beberapa negara utama, termasuk Indonesia. AS juga akan merilis data ketenagakerjaan untuk Agustus, yang akan menjadi ujian bagi kebijakan Federal Reserve terkait pelonggaran ekonomi.
Pada Senin ini, pasar akan menunggu rilis data manufaktur China, data produksi industri dan penjualan ritel Jepang, serta pidato Gubernur The Fed Jerome Powell. Investor mencari petunjuk baru, setelah dalam pidatonya pekan lalu, Powell tidak memberikan sinyal signifikan kepada pasar.
Aksi Jual Investor Asing
Badan Pusat Statistik merilis data inflasi September pada Selasa, 1 Oktober. Konsensus dari para ekonom memprediksi deflasi sebesar -0,01% untuk Agustus, yang menandakan deflasi berlanjut untuk bulan kelima berturut-turut, mendekati rekor deflasi terpanjang yang pernah terjadi pada 1998 saat krisis ekonomi.
Selain itu, laporan PMI manufaktur dari S&P Global akan menjadi perhatian, karena akan memberikan kejelasan apakah kontraksi di sektor manufaktur yang terjadi selama dua bulan terakhir akan berlanjut atau tidak.
Seperti diketahui bahwa di pasar portofolio terlihat mulai mengurangi posisinya di berbagai aset domestik yang dilakukan oleh sejumlah investor asing. Berdasarkan data transaksi Bank Indonesia pada 23-26 September 2024, investor nonresiden mencatat aksi jual bersih sebesar Rp9,73 triliun. Angka ini terdiri dari penjualan bersih sebesar Rp2,88 triliun di pasar saham, Rp1,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan Rp5,55 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Secara keseluruhan, selama tahun 2024, investor nonresiden tercatat melakukan pembelian bersih sebesar Rp57,13 triliun di pasar saham, Rp31,07 triliun di pasar SBN, dan Rp193,60 triliun di SRBI hingga 26 September.