JAKARTA, duniafintech.com – Bank kecil yang bagus saat ini masih bergeliat mencari pendanaan, termasuk kepada investor asing. Lantas, apa langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar bank yang bagus ini tidak berpindah ke tangan pihak asing?
Adapun sejauh ini, jumlah perbankan di Indonesia yang harus melakukan penambahan modal untuk memenuhi ketentuan modal inti minimum Rp3 triliun pada 2022 masih banyak. Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebagian besar pola penambahan modal yang dilakukan oleh bank-bank kecil, utamanya yang semula masih Buku I, yakni dengan mendatangkan investor strategis.
Bahkan, ada pula yang melakukan konsolidasi strategis dengan bank-bank lokal besar. Dikatakan Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK, Slamet Edy Purnomo, pihaknya akan mengutamakan memberi izin kepada investor lokal untuk mengambil alih bank-bank kecil ini, utamanya yang punya kinerja bagus.
“Jangan sampai bank yang bagus ini dikasih ke asing. Itu tidak benar. Harus ada kerja bakti dululah kalau asing mau ambil,” ucapnya dalam webinar Arah Bisnis 2022, seperti dilangsir dari Kompas.com, Kamis (16/12).
Dalam hal ini, di antara konsolidasi strategis yang telah terwujud adalah BCA mencaplok Bank Royal yang saat ini sudah bertransformasi menjadi BCA Digital. Kemudian, Grup Bank Mega mengambil alih PT Bank Harda Indonesia Tbk yang sekarang berganti nama jadi PT Allo Bank Indonesia Tbk.
Ia menambahkan, yang terbaru adalah PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) bakal mengakuisisi Bank Mayora. Di sisi lain, investor strategis yang masuk pun telah mulai marak, misalnya Grup Shoppe yang mengambil alih Bank Kesejahteraan Ekonomi yang sekarang bertukar nama menjadi Sea Bank Indonesia.
Disampaikannya, masih ada beberapa lagi investor strategis yang akan masuk. Untuk diketahui, sebelumnya, Kredivo juga sudah mencaplok 40 persen saham PT Bank Bisnis Indonesia Tbk, kemudian Ajaib mengakuisisi 24 persen saham PT Bank Bumi Arta Tbk, dan Emtek Group saat ini masih dalam proses menyelesaikan akuisisi 93 persen saham PT Bank Fama Internasional.
Sejalan dengan itu, juga ada bank yang memilih untuk melakukan mekanisme penghimpunan dana di pasar modal untuk memenuhi aturan permodalan ini. Meski demikian, OJK memilih untuk ketat dalam memberikan perizinan.
“Kalau mau fund rising di pasar modal, kami akan melihat arah bisnis ke depannya seperti apa. Kami akan mewaspadai bank-bank yang nantinya tidak punya ekosistem, pertumbuhan ke depannya tidak akan sustain. Kami harus hati-hati karena kalau tidak sustain bisa bahaya (ke industri),” paparnya.
Pihaknya pun menyakini bahwa bank-bank yang tidak punya ekosistem dan masuk ke area digitalisasi tidak bakal bertahan lama. Adapun daya saingnya akan terbatas sebab setiap investasinya pun bakal terbatas sehingga bank itu pada akhirnya tidak akan mampu melakukan kompetisi bisnis dengan pihak lain.
Ia mengungkapkan, bank-bank yang tidak punya ekosistem itu dikhawatirkan hanya akan memainkan isu bank digital dan pada akhirnya dapat merusak pasar dan menimbulkan kekecewaan terhadap masyarakat yang sudah membeli sahamnya.
“OJK akan tetap ikut menjaga, jangan sampai saham-saham mereka hanya dibakar-bakar saja, ikut digoreng dengan masalah isu dengan rumor di belakangnya ada investor ini investor itu padahal faktanya tidak. Itu sudah sering terjadi dan kami tegur,” sebutnya.
Adapun sebagian besar bank yang punya kantor pusat di dalam negeri, lanjutnya, sudah punya arah untuk penambahan modal dan arah untuk pengembangan bisnisnya. Bagi OJK, bank KBMI I pun dapat berkembang asalkan bank ini punya keunggulan bisnis. Contohnya, bank ini fokus di segmen otomotif, punya ekosistem, dan jelas siapa kompetitor dan investor di belakangnya.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra