JAKARTA, duniafintech.com – Perusahaan digital atau startup seperti e-commerce dan financial technology (fintech) makin gencar masuk ke ekosistem bank lewat akuisisi saham bank-bank kecil. Langkah ini dinilai untuk menguatkan infrastruktur bisnis perusahaan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkirakan bahwa kolaborasi antara dua entitas bisnis ini akan terus meningkat di 2022. Pasalnya hubungan antara dua entitas bisnis ini saling membutuhkan satu sama lain.
“Tahun depan diperkirakan kerja sama makin meningkat karena simbiosis mutualisme di antara kedua industri,” kata Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W. Budiawan kepada Duniafintech.com, Jumat (24/12).
Bambang menuturkan, pihaknya pun mendorong agar kolaborasi antar entitas bisnis ini semakin kuat ke depan. Menurutnya, platform digital seperti fintech lending membutuhkan lender atau pemberi pinjaman, sedangkan bank membutuhkan partner untuk menyalurkan pinjaman ke UMKM.
“OJK mendorong platform P2P lending untuk berkolaborasi secara optimal dalam ekosistem. Termasuk OJK mendorong kerja sama dengan perbankan,” ujarnya.
Bahkan, untuk memfasilitasi sinergi bisnis tersebut OJK pun telah menerbitkan pedoman kerja sama antara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan platform fintech peer to peer (P2P) lending.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan, kolaborasi ini diharapkan dapat meminimalkan persaingan dan menghindarkan disrupsi yang ditimbulkan dari persaingan tersebut.
“Untuk meminimalkan persaingan dan menghindarkan disrupsi, OJK telah mengeluarkan panduan untuk mendorong kolaborasi antara BPR dan Fintech P2P Lending,” katanya beberapa waktu lalu.
Heru mengungkapkan, kolaborasi tersebut akan memberikan beberapa manfaat baik bagi BPR dan BPRS, maupun bagi fintech sendiri. Dari segi teknologi, BPR dan BPRS membutuhkan kecanggihan teknologi fintech, di sisi lain fintech membutuhkan sumber daya yang dimiliki BPR.
Pada akhirnya, sambungnya, kolaborasi ini akan saling melengkapi kekurangan masing-masing antara BPR dan BPRS dengan fintech, sehingga akan meningkatkan efisiensi maupun penyediaan produk dan layanan yang lebih bervariasi.
Heru pun bilang, manfaat kolaborasi ini telah dirasakan langsung oleh beberapa BPR dan fintech lending yang telah menjalankan kerjasama penyaluran dana. Dia menuturkan, salah satu fintech lending memberikan testimoni bahwa kolaborasi itu bermanfaat menurunkan risiko pinjaman bermasalah.
“Selain itu dari testimoni salah satu BPR menyatakan bahwa kerjasama ini mampu mempercepat proses bisnis karena dukungan teknologi dari fintech,” tuturnya.
Adapun, menurut Direktur Eksekutif Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, Anung Herlianto saat ini terdapat 51 BPR dan 31 fintech lending yang menjalin kerja sama. Kerja sama itu pun diklaim berhasil meningkatkan portofolio kredit BPR sebesar 40%.
Sementara itu, kinerja BPR dan BPRS sepanjang 2021 masih menunjukkan kinerja yang positif. Rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) menunjukkan ketahanan yang baik dan mampu menopang risiko kredit yang menunjukkan tren peningkatan.
Pada September 2021 kinerja BPR dan BPRS tumbuh positif. Total Aset tumbuh sebesar 8.90%, di mana dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 11.27%, dan kredit/pembiayaan tumbuh sebesar 4.33%.
Dengan kinerja industri yang terus tumbuh ini, BPR dan BPRS pun masih memiliki peluang yang besar dalam memberikan kredit atau pembiayaan bagi usaha mikro. Apalagi, lebih dari 99% unit usaha di Indonesia terdiri dari UMKM, di mana baru sekitar 24% diantaranya yang memiliki rekening kredit.
Lebih-lebih, sebesar 85% UMKM yang belum mengambil langkah digitalisasi memiliki potensi untuk memanfaatkan e-commerce dalam mendukung ekonomi digital. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah ke depan yaitu target akses pembiayaan UMKM ke lembaga keuangan formal 30% dan 30 juta UMKM go digital di tahun 2024.
“Dari sisi pemilik usaha, para digital merchants sebagian besar akan meningkatkan penggunaan layanan keuangan digital dalam satu hingga dua tahun ke depan,” tukasnya.
Perusahaan Digital Ramai-ramai Masuk ke Ekosistem Bank
Dalam satu tahun terakhir, terdapat beberapa perusahaan teknologi digital yang masuk ke dalam ekosistem bank melalui pembelian saham bank-bank kecil. Bank-bank kecil ini nantinya pun disulap menjadi bank digital.
Beberapa perusahaan teknologi yang masuk ke ekosistem bank konvensional ini antara lain PT Takjub Finansial Teknologi (Ajaib Group) yang memborong 554,4 juta saham PT Bank Bumi Arta Tbk (BNBA) senilai Rp746 miliar. Dengan begitu Ajaib memperoleh 24% kepemilikan saham BNBA.
Ajaib sendiri adalah perusahaan penyedia layanan investasi reksadana online maupun saham, obligasi, dan pasar uang melalui reksadana.
Selain Ajaib, ada pula PT Akulaku Silvrr Indonesia yang menguasai mayoritas saham Bank Neo Commerce (BNC). Akulaku saat ini menjadi pemegang saham pengendali setelah mencaplok 24,98% saham BNC.
Penguasaan saham mayoritas tersebut dilakukan melalui right issue yang bertujuan salah satunya untuk memenuhi modal inti bank digital yang ditetapkan OJK minimal Rp2 triliun di akhir tahun 2021 dan Rp3 triliun di akhir tahun 2022
Selain dua perusahaan teknologi tersebut, sudah ada Gojek yang masuk ke perbankan melalui Bank Jago dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang masuk melalui Bank Kesejahteraan Ekonomi yang kini sudah berganti nama menjadi Bank Seabank Indonesia.
Selanjutnya, juga ada Kredivo yang masuk ke ekosistem perbankan melalui PT Bank Bisnis Indonesia Tbk.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra