Edge computing adalah sebuah server perantara antara server inti yang tersimpan di cloud atau pusat data milik perusahaan dengan perangkat Internet of Things (Iot) yang terhubung. Teknologi ini dirancang untuk menempatkan aplikasi dan pusat data analisis lebih dekat ke server dan penggunanya.
Perkembangan teknologi terjadi begitu cepat. Setelah kita disodorkan dengan kecanggihan komputasi awan atau cloud computing untuk menggantikan server data konvensional, sekarang muncul lagi teknologi data center terbaru yang disebut dengan komputasi tepi.
“Kalau bicara komputasi tepi itu seperti model komputasi terjadi di dekat titik tempat data dianalisis bukan di center data terpusat,” kata Managing Director for Stratus Technologies in South Asia Region, Lin Hoe Foong dalam webinar, Rabu (22/9).
Memungkinkan Perusahaan Memiliki Server yang Tersebar
Lin menjelaskan, teknologi edge computing ini memiliki keunggulan yang lebih dibandingkan dengan cloud, di mana cloud computing memiliki keterbatasan bandwidth dan memiliki proses pengolahan data yang lambat.
Dengan kecanggihan teknologi ini, sambungnya, memungkinkan setiap perusahaan yang memiliki banyak cabang di berbagai daerah untuk mengelola data perangkatnya dengan cepat sehingga terhindar dari masalah downtime secara signifikan dan bandwidth yang terbatas.
“Dengan komputasi tepi atau edge computing ini dapat meningkatkan kinerja dan keamanan perusahaan, serta mengotomasikan bisnis dan always on. Perusahaan terintegrasi teknologi digital yang lebih andal,” ujarnya.
Potensi Pasar yang Besar
Untuk itu, dia mengatakan bahwa teknologi sistem ini akan memiliki pangsa pasar yang besar di dunia. Karena, teknologi yang ditawarkan oleh edge computing dapat menjadi solusi dari berbagai persoalan industri di dunia yang berkaitan dengan penggunaan IoT.
Dia pun memperkirakan bahwa pasar dari edge computing ini hingga 2030 akan mencapai US$4 triliun atau setara dengan Rp56.812 triliun (kurs Rp14.203/dolar US). Di mana rata-rata pertumbuhan tahunan sebesar 38,48%. Adapun, Pasar terbesar dari teknologi ini menurutnya adalah Asia Pasifik, Eropa dan Amerika, serta Afrika.
“Asia Pasifik adalah pasar yang besar, lalu Eropa dan Amerika, serta Afrika. Marketnya hingga 2030 akan mencapai US$4 triliun,” ucapnya.
Mempercepat Menuju Revolusi Industri 4.0
Lebih jauh Lin menyebutkan bahwa penggunaan edge computing akan mempercepat transformasi digital menuju revolusi industri 4.0, di mana komputasi tepi ini dapat diintegrasikan dengan berbagai industri manufaktur di sektor-sektor energi, ritel, minyak dan gas, transportasi, farmasi, dan kota pintar atau smart city.
“Untuk pengumpulan data real time edge bagus banget, sistem komputasinya juga menyediakan analisa yang besar dan jangka panjang,” ujar dia.
Dia mengatakan, berbagai industri kini dituntut untuk mampu meningkatkan produktivitas, mengurangi masa downtime, meringkas pekerjaan, dan mendorong efisiensi biaya. Melalui edge computing hal itu dapat dilakukan dengan mudah.
Edge Computing Mempersempit Masa Downtime
Lin menjelaskan, platform edge computing ini akan memungkinkan perusahaan untuk mencapai kinerja maksimal dan menghilangkan downtime atau masa tunggu dari pemrosesan data yang akan sangat berguna sekali untuk membantu perkembangan bisnis perusahaan.
“Edge computing membantu lebih banyak pelanggan dari berbagai vertikal bisnis, seperti perusahaan manufaktur dan infrastruktur agar menuai kesuksesan dengan teknologi ini,” katanya.
Menurutnya, dengan percepatan pengintegrasian operasional teknologi dengan teknologi informasi melalui edge computing akan semakin memudahkan pelaku industri untuk meningkatkan skala bisnisnya. Sehingga, pabrik-pabrik dapat berjalan selama 24 jam sehari dan cukup dikontrol secara remote.
Reporter : Nanda Aria
Editor : Gemal A.N. Panggabean