JAKARTA, duniafintech.com – Belakangan ini banyak masalah gagal bayar asuransi yang terjadi. Untuk itu, sejumlah upaya perlu dilakukan untuk membuat tata kelola industri asuransi Indonesia menjadi sehat.
Menurut Pengawas dan Pembina Dewan Asuransi Indonesia (DAI), Kornelius Simanjuntak, untuk bisa menciptakan tata kelola yang lebih sehat di industri ini, perlu didorong adanya kolaborasi antara perusahaan asuransi dengan pialang asuransi.
Ia menerangkan, kolaborasi antara dua entitas tersebut penting dilakukan untuk menghilangkan sikap saling mencurigai di antara keduanya. Hal itu karena sikap saling curiga yang selama ini selalu muncul bisa merusak kelangsungan dua entitas bisnis itu.
“Hilangkan saling menyalahkan. Yang selama ini muncul adalah broker ini katanya merusak pasar. Katanya, kalau masuk broker pasti preminya hancur,” ucapnya, dilangsir dari Detikcom, Senin (27/12).
Di samping itu, dirinya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemerintah untuk segera membentuk Lembaga Penjamin Pemegang Polis (LPPP). Langkah itu dianggap sebagai upaya mendorong minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi.
Selain itu, LPPP pun bisa mengembalikan citra perusahaan asuransi, mengingat belakangan ini kian banyak permasalahan yang terjadi di sejumlah perusahaan. Dalam pandangannya, kalau mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, lembaga in sudah harus dibangun.
Pasalnya, UU mengamanatkan lembaga ini harus sudah ada paling lambat tiga tahun setelah undang-undang perasuransian terbit. Di sisi lain, menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pialang Asuransi Indonesia (Apparindo), Mohammad Jusuf Adi, dalam upaya pembenahan industri asuransi nasional diperlukan kesadaran dari para perusahaan asuransi untuk melakukan bisnis sesuai kecukupan modal.
Dengan demikian, imbuhnya, pihaknya bakal lebih mudah melakukan penyeleksian perusahaan asuransi bagi nasabah.
“Mungkin ke depan perlu pertimbangan, perusahaan asuransi perlu melakukan spesialisasi sesuai dengan kemampuan internal mereka. Kalau modal Rp3 triliun, misalnya, jangan main untuk risiko sampai Rp10 triliun sehingga kami di pialang dalam rangka melakukan penyeleksian perusahaan asuransi lebih mudah,” sebutnya.
Ditambahkan Direktur Teknis IFG, Rianto Ahmad, manajemen risiko perlu diimplementasikan oleh perusahaan-perusahaan untuk mendorong iklim industri asuransi yang sehat. Harapannya, upaya manajemen risiko ini menjadi bagian dari budaya perusahaan.
Di samping itu, dalam pembenahan tata kelola industri ini, dirinya juga mendorong peranan aktuaris. Dalam pandangannya, IFG sudah merekrut banyak tenaga-tenaga aktuaris untuk ditempatkan di anak-anak usaha.
“Kami wajibkan harus ada satuan kerja aktuaris di perusahaan anak kami. Di level direksi, kami juga mengupayakan penguatan dari sisi keaktuariaan, manajemen risiko, yang sifatnya lebih memainkan pedal, kopling, atau rem,” paparnya.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra