JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech hari ini terkait Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengonfirmasi bahwa fintech peer to peer (P2P) lending diperbolehkan menggunakan jasa pihak ketiga atau debt collector. Aturan ini telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) nomor 10/POJK.05/2022.
Seperti dilansir dari kontan.co.id, Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Edi Setijawan menjelaskan bahwa POJK nomor 10/POJK.05/2022 telah merinci ketentuan penagihan dalam pasal 102 hingga 104.
Menurut ketentuan tersebut, Pasal 102 ayat (1) mengharuskan penyelenggara fintech P2P lending melakukan penagihan kepada Penerima Dana dengan memberikan surat peringatan sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian pendanaan antara Pemberi Dana dan Penerima Dana.
“Selain itu, Pasal 103 ayat (1) dan ayat (4) mencatat bahwa penyelenggara dapat berkolaborasi dengan pihak lain untuk menjalankan fungsi penagihan. Penyelenggara juga wajib bertanggung jawab sepenuhnya atas konsekuensi kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ayat (1),” ungkap Edi.
Edi menambahkan bahwa dalam Pasal 104 ayat (1), disebutkan bahwa penyelenggara harus memastikan bahwa penagihan dilakukan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan ini memberikan fleksibilitas kepada fintech P2P lending untuk melakukan penagihan secara in-house atau melalui kolaborasi dengan pihak ketiga. Namun, dalam kasus kerja sama dengan pihak ketiga, mereka harus memenuhi persyaratan memiliki sumber daya manusia yang telah disertifikasi di bidang penagihan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
“Dengan adanya sertifikasi ini, penagihan dalam fintech P2P lending dapat berlangsung sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat dan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Baca juga: Berita Fintech Hari Ini: OJK akan Tindak Tegas AdaKami jika Terbukti Pelanggaran
Edi juga menjelaskan bahwa jika terjadi pelanggaran terkait penagihan dengan debt collector, penyelenggara fintech P2P lending akan bertanggung jawab penuh atas dampak dari kerja sama tersebut dan dapat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sanksi administrasi tersebut dapat mencakup peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin, yang dapat disertai dengan pemblokiran sistem elektronik penyelenggara.
Fintech Lending Gunakan Pihak Ketiga Untuk Penagihan
Seperti dilansir dari kontan.co.id, beberapa perusahaan fintech peer to peer (P2P) lending telah mengungkapkan penggunaan jasa pihak ketiga atau debt collector dalam rangka melakukan penagihan kepada peminjam. Salah satu di antaranya adalah PT Akselerasi Usaha Indonesia Tbk atau Akseleran (AKSL). Group CEO Akseleran, Ivan Nikolas, menjelaskan bahwa mereka menggunakan jasa debt collector yang telah bersertifikasi oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
“Jasa ini biasanya digunakan untuk membantu melakukan penagihan desk call, khususnya untuk produk consumer loan kami, yaitu produk employee loan,” kata Ivan.
Ivan menjelaskan bahwa penagihan desk call dilakukan dengan menghubungi nomor telepon yang bersangkutan dan menagih pembayaran yang sudah jatuh tempo. Jika peminjam tidak membayar, penagihan akan dilakukan secara berkala.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Terkait Berita Bunuh Diri karena Ditagih Pinjol, AFPI akan Panggil AdaKami
Lebih lanjut, Ivan menjelaskan bahwa riwayat kredit peminjam akan terpengaruh karena data perkreditan mereka akan masuk ke dalam data Lembaga Informasi Pembiayaan (LPIP) mitra Akseleran, yaitu Pefindo Biro Kredit.
Khusus untuk produk pinjaman produktif, Akseleran melakukan penagihan dengan menggunakan tim penagihan internal, baik melalui penagihan desk call maupun penagihan lapangan. Ivan menekankan bahwa fokus mereka adalah mencari solusi agar peminjam dapat menyelesaikan kewajibannya. Jika kewajiban tersebut tidak terselesaikan, Akseleran dapat mengambil langkah hukum yang diperlukan terhadap peminjam.
Ivan juga mencatat bahwa hingga saat ini, angka Tunggakan Waktu Pembayaran (TWP) 90 Akseleran tetap berada di bawah batas aman, yaitu kurang dari 5% dan bahkan di bawah 1%.
Selain Akseleran, fintech Modalku juga menggandeng pihak ketiga (debt collector) bersama dengan tim internal mereka untuk melakukan penagihan kepada peminjam. Arthur Adisusanto, Country Head Indonesia Modalku, menjelaskan bahwa Modalku memiliki tim penagihan internal yang dikelola dengan baik dan berdasarkan etika serta ketentuan yang berlaku.
“Modalku juga berkolaborasi dengan pihak ketiga (debt collector) yang terdaftar di Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Mereka turut membantu kegiatan penagihan kepada peminjam untuk kepentingan pemberi dana atau lender,” kata Arthur.
Arthur menjelaskan bahwa Modalku selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan pemangku kepentingan perusahaan, termasuk para pemberi dana. Mereka mengirimkan notifikasi terkait jadwal pembayaran sebelum tanggal jatuh tempo melalui berbagai saluran komunikasi.
Jika peminjam melewati masa jatuh tempo, tim Modalku akan mencari tahu lebih lanjut tentang kendala yang dialami oleh peminjam dan berupaya mencari solusi terbaik. Modalku juga memberikan opsi restrukturisasi kepada UMKM atau peminjam yang masih memiliki prospek usaha serta kapasitas untuk melakukan pembayaran kembali.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: AFPI Ungkap Syarat Bunga Pinjaman Fintech untuk UMKM Bisa Turun
Arthur menegaskan bahwa Modalku akan terus memantau dan berkomunikasi secara rutin dengan peminjam jika terdapat kendala bisnis. Mereka juga dapat menggunakan jalur hukum jika diperlukan untuk mengatasi pembayaran pinjaman yang macet.
Meskipun demikian, Arthur menekankan bahwa sebagian besar penerima dana di Modalku tetap kooperatif dalam proses pengembalian pendanaan. Hingga 2 Oktober 2023, tingkat keterlambatan pembayaran 90 hari Modalku berada pada tingkat 95,77%.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menjelaskan bahwa penggunaan jasa pihak ketiga atau debt collector oleh fintech peer to peer (P2P) lending telah diatur dalam Peraturan OJK nomor 10/POJK.05/2022. Dalam peraturan tersebut, terdapat ketentuan mengenai penagihan, terutama dalam pasal 102 sampai 104.
AdaKami Terus Investigasi Kasus Viral Korban Bunuh Diri
PT Pembiayaan Digital Indonesia (AdaKami) saat ini tengah menjalani proses investigasi yang mendalam atas kasus viral yang beredar dalam beberapa hari terakhir mengenai dugaan korban bunuh diri. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memerintahkan AdaKami untuk mengklarifikasi situasi ini.
Direktur Utama AdaKami, Bernardino Moningka Vega Jr., mengungkapkan bahwa sejak berita viral ini muncul, perusahaan telah mengambil langkah investigasi. Hingga saat ini, AdaKami belum menerima informasi yang cukup lengkap terkait identitas korban dari akun “X rakyatvspinjol” yang dapat mengaitkannya dengan dugaan oknum penagih utang (debt collector). AdaKami juga sedang berupaya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang pemilik akun yang pertama kali menyampaikan informasi mengenai korban di media sosial.
Baca juga: Berita Fintech Hari Ini: Kehadiran Fintech Percepat Digitalisasi UMKM
“OJK telah memanggil AdaKami untuk menjelaskan situasi ini. Kami telah melakukan investigasi awal untuk mencari debitur berinisial ‘K’ yang menjadi perbincangan, namun belum menemukan debitur yang sesuai dengan informasi yang beredar. Sebagai perusahaan fintech P2P lending yang beroperasi dengan izin OJK, kami berkomitmen untuk patuh pada peraturan dan instruksi dari otoritas. Kami terus mengadakan investigasi mendalam untuk memastikan kebenaran berita ini,” ujar Bernardino Vega.
Hingga saat ini, AdaKami masih memerlukan informasi identitas korban, termasuk nama lengkap, nomor KTP, dan nomor telepon, yang sangat penting untuk melanjutkan pemeriksaan dan memastikan apakah korban merupakan debitur AdaKami dengan keterlambatan pembayaran. Ini sesuai dengan prosedur Know Your Customer (KYC) yang berlaku untuk semua pengguna layanan AdaKami. Verifikasi identitas korban akan membantu mengungkap kebenaran dari berita yang beredar.
Bernardino Vega menekankan bahwa dalam menjalankan praktik bisnisnya, terutama dalam hal penagihan, AdaKami mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Hal ini mencakup larangan melakukan penagihan dengan intimidasi, kekerasan fisik dan mental, atau tindakan yang bersifat merendahkan atau diskriminatif terhadap peminjam, harta benda, keluarga, rekan, dan kerabat peminjam, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Tim penagihan AdaKami juga harus memiliki sertifikasi Agen Penagihan dari AFPI atau OJK.
“Kami ingin menegaskan kembali bahwa terkait dengan berita viral ini, AdaKami akan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku penagihan yang melanggar etika dan tidak sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan oleh regulator. Kami siap bekerja sama dengan otoritas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah ini dan mencegahnya dari menjadi preseden buruk bagi perusahaan dan industri. Jika terbukti adanya tindakan penagihan yang tidak etis seperti yang dilaporkan, AdaKami akan mengambil tindakan hukum,” tambah Bernardino.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: OJK Sebut Sektor Pembiayaan UMKM Jadi Tantangan Industri Fintech Lending
“Kami juga menghimbau siapa saja yang memiliki informasi terkait identitas debitur yang dimaksud untuk segera menghubungi AdaKami melalui call center di 15000-77 atau email hello@cs.adakami.id dengan melampirkan bukti yang lengkap,” lanjut Bernardino Vega.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko, menyatakan bahwa AFPI akan mendampingi proses investigasi yang sedang dilakukan oleh AdaKami untuk memastikan kebenaran dari berita yang telah menyebar. AFPI juga akan memeriksa praktik bisnis AdaKami untuk memastikan bahwa mereka telah mematuhi kode etik yang berlaku dalam industri fintech P2P lending.
“AFPI akan ikut dalam proses investigasi bersama AdaKami, karena insiden semacam ini juga dapat terjadi pada anggota lainnya. Jika hasil investigasi tidak menunjukkan kesalahan yang dilakukan oleh AdaKami, yang berarti informasi yang beredar tidak dapat dibuktikan kebenarannya, hal ini akan merusak reputasi industri dan menggoyangkan kepercayaan masyarakat. Padahal, pembiayaan digital melalui fintech lending memiliki potensi besar untuk memberikan akses kepada masyarakat yang sebelumnya sulit dijangkau oleh sistem perbankan tradisional,” ungkap Sunu.