JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia kali ini mengulas nilai kredit bermasalah pinjol fintech lending per November 2022.
Menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perusahaan finansial berbasis teknologi atau financial technology (fintech) lending dengan tunggakan lebih dari 90 hari mencapai Rp1,42 triliun per November 2022.
Berdasarkan data Statistik Fintech Lending periode November 2022 yang diterbitkan oleh OJK pada 3 Januari 2023, nilai kredit macet di industri fintech lending terdiri atas pinjaman online (pinjol) perorangan dan bidang usaha masing-masing senilai Rp1,21 triliun dan Rp213,09 miliar.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dinukil dari Bisnis.com, Kamis (12/1/2023).
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Milik Eks Bos ISAT, Startup Fintech Indonesia Ini akan Go Public di AS
Berita Fintech Indonesia: Didominasi Nasabah Laki-laki
Adapun secara lebih terperinci, outstanding pinjaman kredit macet untuk perorangan didominasi oleh nasabah laki-laki dengan nilai outstanding pinjaman sebesar Rp640,35 miliar.
Nilai outstanding pinjaman itu diketahui lebih rendah kalau dibandingkan dengan periode Oktober 2022 yang mencapai Rp667,74 miliar.
Di sisi lain, nasabah perempuan mencapai Rp571,61 miliar, lebih tinggi dari periode Oktober 2022 sebesar Rp564,63 miliar.
Apabila ditinjau berdasarkan usia, meski mengalami tren yang menurun, maka nasabah di rentang usia 19—34 tahun masih menjadi kontributor utama pinjaman bermasalah di atas 90 hari, yakni Rp766,40 miliar.
Sementara itu, nasabah dengan rentang usia 35—54 tahun mencatatkan outstanding pinjaman bermasalah sebesar Rp417,55 miliar dan nasabah di atas 54 tahun sebesar Rp26,30 miliar, serta nasabah dengan usia di bawah 19 tahun mencatatkan kredit macet sebesar Rp1,71 miliar.
Secara total, outstanding pinjaman fintech lending per November 2022 tercatat sebesar Rp50,29 triliun, yang terdiri dari perorangan sebesar Rp42,89 triliun dan badan usaha Rp7,4 triliun.
Dari sisi kinerja keuangan penyelenggara fintech lending, OJK menyampaikan tingkat keberhasilan bayar atau TKB90 industri fintech lending naik menjadi sebesar 97,17 persen.
TWP90 di fintech berada di angka 2,83 persen. Sementara itu, baik return on asset (ROA), return on equity (ROE), maupun beban operasional dan pendapatan operasional (BOPO) penyelenggara fintech lending masing-masing mencapai -2,27 persen, -4,23 persen, serta 99,24 persen per November 2022.
Berita Fintech Indonesia: Aturan Modal Inti Baru Dipenuhi Separuh Fintech, Pengamat Bilang Begini
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, aturan modal yang mewajibkan setiap penyelenggara pinjol untuk memenuhi ekuitas Rp12,5 miliar bisa menyaring mana penyelenggara yang lebih siap menghadapi tantangan ke depan.
“Ya sebenarnya syarat modal minimum itu merupakan hal yang positif dan perlu dapat dukungan karena fintech ini sedang menghadapi tekanan dari lonjakan kredit macet dan juga masalah soal manajemen risiko,” katanya.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Aturan Modal Inti Baru Dipenuhi Separuh Fintech, Pengamat Bilang Begini
Di samping itu, ia pun menekankan bahwa dengan sedikitnya penyelenggara yang terdaftar akibat seleksi modal, hal itu justru mendatangkan banyak keuntungan, termasuk terbukanya opsi sesama fintech P2P lending melakukan merger atau akuisisi dalam rangka meningkatkan modal minimum.
Bahkan, imbuhnya, kemungkinan penyelenggara mendapatkan kucuran dana dari perbankan untuk peningkatan modal sekaligus mempermudahkan pengawasan.
“Kalau bisa 20 perusahaan fintech [yang tersisa] pengawasannya jadi lebih mudah. Biaya pengawasannya jadi lebih mudah. Kemudian juga dari sisi kualitas penyaluran pinjaman, sehingga penyaluran pinjaman ke sektor produktif, kemudian ke pelaku UKM [Usaha Kecil dan Menengah],” jelasnya.
Namun, di luar aturan modal itu, ia juga menyampaikan bahwa bertahannya fintech P2P lending kini pun telah masuk dalam “seleksi alam”.
Dalam pandangannya, fintech dengan manajemen risiko yang baik akan bertahan dan mendapatkan suntikan modal dari bank.
“Jadi, tidak ada masalah [soal aturan modal],” sebutnya.
Lebih jauh dikatakannya, fintech P2P lending yang belum memenuhi syarat aturan modal sebaiknya melakukan dua hal. Pertama, mereka harus berkolaborasi dengan sesama fintech atau dengan lembaga keuangan, misalnya dengan menjadi bagian dari anak usaha.
“Atau dia [fintech P2P lending] terpaksa harus melikuidasi dan itu dari dulu didorong ada konsolidasi fintech. Mungkin sekarang saat yang tepat. Jadi bukan menghambat sebenarnya karena kalau terlalu banyak perusahaan fintech juga jadi susah untuk masyarakat membedakan mana fintech legal dan fintech ilegal. Kalau jumlahnya sedikit kan jadi lebih gampang,” urainya.
Paling Sedikit Rp12,5 Miliar
Sebagai informasi, dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 (POJK 10/2022) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi pada ayat (2) huruf c menyebutkan penyelenggara wajib setiap saat memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar yang berlaku 3 tahun terhitung POJK ini diundangkan.
POJK 10/2022 ini diundangkan pada 4 Juli 2022. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat baru 58 penyelenggara financial technology peer-to-peer lending (fintech P2P lending yang telah memenuhi ekuitas minimal sebesar Rp12,5 miliar.
Sekian ulasan tentang berita fintech Indonesia yang perlu diketahui. Semoga bermanfaat.
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com