JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terbaru datang dari platform financial technology peer-to-peer (P2P) lending, Investree.
Dalam hal ini, sejumlah warganet mengeluhkan Investree karena dinilai gagal bayar atas pinjamannya.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti disitat dari Bisnis.com, Rabu (26/4/2023).
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Pertumbuhan Fintech Indonesia Tertinggi Kedua di antara Negara G20
Berita Fintech Indonesia: Mendapatkan Rating 3,5/5
Mengacu pada ulasan di platform Google, Senin (24/4/2023), platform P2P lending Investree mendapatkan rating 3,5/5 dan 177 penilaian.
Adapun untuk ulasan terbaru, misalnya, sejumlah pengguna Google terpantau menyematkan rating satu.
Akan tetapi, sebagian pengguna Google juga memberikan rating 5 pada aplikasi besutan Adrian Gunadi.
Merujuk laman resmi perusahaan, Investree adalah perusahaan teknologi finansial di Indonesia yang mempertemukan orang yang memiliki kebutuhan pendanaan dengan orang yang bersedia meminjamkan dananya.
Hingga Senin (24/4/2023), Investree memiliki TKB total mencapai 95,85 persen.
“Sebagai perusahaan pionir, kami menanamkan dan menguatkan prinsip kerja berdasarkan nilai-nilai integritas, inovasi, dan profesionalisme agar dapat memberikan manfaat kepada para stakeholder di bawah bendera sharing economy, sebuah sistem sosial-ekonomi yang menjadikan sumber daya pribadi sebagai peluang untuk berbagi,” ucap Adrian di laman resmi Investree.
Sementara itu, mengutip dari laman resmi Sikapi Uangmu OJK, Senin (24/4/2023), produk keuangan fintech P2P lending juga memiliki risiko, yaitu penerima pinjaman (borrower) mengalami kredit macet bahkan gagal bayar.
Hal ini dapat berakibat dana yang dipinjamkan oleh lender tidak mendapatkan keuntungan.
“Untuk itu, masyarakat perlu mendiversifikasikan portofolio pendanaan pada fintech P2P lending. Masyarakat perlu mengenali profil borrower yang akan didanai dan mengingat konsep high risk high return,” tulis OJK.
Dalam hal ini, pendanaan yang memiliki bunga tinggi cenderung memiliki rating risiko yang relatif lebih tinggi. Artinya, terdapat risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
Sementara, untuk pendanaan yang memiliki bunga rendah memiliki rating risiko yang rendah.
Investasi di P2P lending ini memberikan janji return cukup tinggi per tahunnya, namun berinvestasi harus sesuai dengan profil serta risk appetite dan bagaimana cara mengelolanya.
“Karena itu, langkah paling awal dalam proses investasi di P2P lending adalah memahami risikonya,” jelasnya.
Berita Fintech Indonesia: Pertumbuhan Fintech Indonesia Tertinggi Kedua di antara Negara G20
Sebelumnya, mengutip JPNN.com, pertumbuhan fintech Indonesia diketahui yang menjadi tertinggi kedua di antara negara G20.
Menurut Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Jerry Sambuaga, pertumbuhan industri fintech Indonesia setiap tahun mencapai 39 persen, utamanya pada masa pandemi Covid-19.
Jerry mengatakan, pertumbuhan ini mengisyaratkan potensi dan eksistensi fintech yang akan makin penting dalam ekonomi Indonesia.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Kuartal I-2023, Penyaluran Pinjaman Fintech P2P Lending Meningkat
Fintech sendiri adalah salah satu sektor dari industri digital secara keseluruhan.
Karena itu, Jerry berharap fintech akan makin besar peranannya dalam sektor-sektor yang produktif sehingga mampu mendukung pertumbuhan ekonomi.
Posisi fintech dalam sektor produktif menurut Jerry bisa dikembangkan mulai dari sektor mikro, kecil dan menengah.
Syaratnya, semua pihak berkomitmen untuk membangun ekosistem yang aman dan saling menguntungkan.
Dalam dunia perdagangan sendiri menurut Jerry, fintech merupakan salah satu jalan keluar dari kebutuhan akan proses pembiayaan.
Banyak pedagang kecil yang belum terjangkau oleh bank-bank konvensional.
Berharap Fintech Makin Familiar
Jerry berharap fintech makin familiar dan makin ramah bagi pelaku perdagangan di Indonesia, khususnya pedagang kecil.
Hal ini karena perdagangan rakyat menjadi kegiatan penunjang utama ekonomi masyarakat sehingga harus didukung dengan kondisi yang menguntungkan bagi pelakunya.
“Fintech juga bisa mendukung kegiatan para pedagang, khususnya di pasar rakyat dan pasar tradisional, tentu dengan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pedagang itu sendiri,” kata Wamendag Jerry.
Kementerian Perdagangan telah melakukan upaya-upaya dalam digitalisasi perdagangan, khususnya dalam pemanfaatan QRIS sebagai metode pembayaran.
Menurut Jerry, fintech bisa terintegrasi dalam keseluruhan digitalisasi perdagangan jika syarat dan ketentuannya sesuai dengan kondisi pelaku perdagangan rakyat.
“Intinya, perdagangan di pasar rakyat dan pasar tradisional kan pedagang kecil. Jika fintech ingin bersama-sama membangun ekosistem di sana, kondisi, ketentuan dan syaratnya juga harus mudah dan ramah bagi pedagang kecil,” papar Wamendag.
Meskipun pelaku ekonomi kecil, pedagang di pasar rakyat dan pasar tradisional selama ini dikenal cukup berkomitmen dalam hal kepatuhan ketika berhubungan dengan institusi keuangan.
Hal ini menurut Wamendag, dibuktikan dengan hubungan mereka dengan BPR maupun dengan lembaga pembiayaan non konvensional.
Hubungan dengan fintech yang menguntungkan akan menguntungkan semua pihak karena kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih berjalan.
“Kami berharap ada sinergi dan kolaborasi yang saling menguntungkan,” ujarnya.
Kemendag sudah menargetkan membina digitalisasi 1000 pasar rakyat dan 1 juta UMKM. Salah satu kebutuhan yang penting adalah hubungan pedagang dan UMKM dengan sektor pembiayaan dan lembaga keuangan.
Dia berharap ke depan, ekosistem itu bisa terbentuk dan menjadi jalan keluar bagi peningkatan kesejahteraan pelaku ekonomi masyarakat.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Securities Crowdfunding Dukung Kemudahan Akses Permodalan bagi UKM
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com