JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terkait bunga fintech peer-to-peer lending/pinjaman online (pinjol) yang akan dikaji.
Hal itu sebagaimana akan dilakukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Adapun saat ini, besaran bunga fintech lending sendiri adalah 0,4 persen.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dilangsir dari Kompas.com, Rabu (14/6/2023).
Baca juga: Berita Fintech Hari Ini: OJK Terima 3.903 Aduan Pinjol HIngga Mei 2023
Berita Fintech Indonesia: Dipengaruhi Adanya Pengaduan Masyarakat
Menurut Direktur Eksekutif AFPI, Kuseryansyah, penurunan bunga fintech lending dari semula 0,8 persen menjadi 0,4 persen dipengaruhi oleh adanya aduan masyarakat soal tingginya bunga tersebut.
“Waktu itu kami koordinasi dengan OJK untuk turun (bunga fintech lending) jadi 0,4 persen. Dari 0,8 ke 0,4 itu sendiri turunnya sudah cukup banyak,” katanya, usai acara Media Luncheon, Selasa (13/6/2023) kemarin.
Diterangkannya, dengan adanya penurunan bunga fintech tersebut aduan masyarakat berkurang signifikan.
Bahkan, dalam sebulan terakhir, ia menyebut bahwa belum ada aduan dari masyarakat terkait bunga pinjaman online.
Sebagai asosiasi fintech lending, pria yang karib disapa Kus ini menjelaskan, industri bukan asal mematok bunga yang tinggi.
Adapun bunga itu akan digunakan untuk membayar kembali pemberi pinjaman (lender).
Bunga fintech lending juga akan digunakan untuk menutup biaya operasional, biaya teknologi, internet, dan juga profit untuk platform itu sendiri.
Kus sendiri menilai bahwa wacana pengaturan besaran bunga fintech lending harus membuka ruang untuk penyesuaian segmentasi.
Misalnya, pinjaman dengan ticket size kecil jangan sampai melebihi minimum cost. Bila sampai lebih, maka persentase bunganya akan tinggi.
“Kami berharap mungkin beberapa segmen di multiguna (bunga) dapat dinaikkan sedikit, atau di segmen tertentu memang harus diturunkan,” jelasnya.
Beri Masukan
AFPI sendiri telah memberikan masukan untuk bunga fintech lending ini berada pada kisaran 0,4-0,6 persen.
Kus memberi gambaran, misalnya untuk pinjaman dengan risiko tinggi dan ticket size kecil, butuh bunga yang lebih besar.
Sedangkan, pinjaman dengan ticket size besar, dapat dikenakan bunga yang kecil.
“Misalnya untuk pinjaman yang setahun untuk ticket size Rp 10 juta itu tidak mungkin bunganya lebih kecil dari 0,4 persen. sudah natural seperti itu, sekarang (industri) sudah jalan,” tuturnya.
Terakhir, Kus menyebut, kebutuhan pinjaman dengan ticket size kecil pada rentang Rp500—Rp1 juta sangat digandrungi anak muda.
“Itu tidak apa, karena mereka punya income gaji. Jadi kalau gajian dapat mereka tutup langsung atau jadi tiga kali,” tutupnya.
Berita Fintech Indonesia: Penuhi Syarat Permodalan, Perusahaan Fintech Bisa Merger
Sebelumnya dilaporkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, dari total 102 fintech peer-to-peer (P2P) lending, masih ada 26 fintech yang belum memenuhi batas permodalan minimum Rp 2,5 miliar yang ditetapkan regulator.
Padahal, ketentuan modal minimum Rp 2,5 miliar itu akan berlaku mulai 4 Juli 2023, dan akan meningkat pada tahun selanjutnya.
Peraturan tersebut membuka peluang penggabungan (merger) atau akuisisi guna memenuhi persyaratan batas minimum permodalan.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah, mengatakan bahwa ada perusahaan yang modal minimum belum bisa terpenuhi memang bisa diberikan peringatan oleh regulator.
Peringatan tersebut berfungsi mendorong perusahaan supaya memenuhi modal minimum.
Ia pun tidak menampik perusahaan yang tidak sanggup memenuhi permodalan bisa melakukan merger atau akuisisi.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Sudah Menyerah, TaniFund Dapat Peringatan Terakhir dari OJK
“Tentu ada opsi untuk melakukan merger dengan pemain lain. Kalau akuisisi, itu bisa, terutama bagi perusahaan yang sudah memenuhi atau melewati masa lock up. Jadi, setelah 3 tahun berizin, platform itu sudah boleh memindahkan, menjual, atau mengoperalihkan sahamnya ke pihak lain. Namun, sebelum waktu tersebut, dia tak boleh, kalau perlu setor modal, ya, harus dari kantong existing shareholder-nya,” sebutnya, Selasa (13/6).
Kuseryansyah menyebut, merger bisa menjadi alternatif sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. Merger juga sudah dimungkinkan secara regulasi, yakni untuk memenuhi permodalan minimum yang tertuang dalam POJK Nomor 10.
Ia pun menyampaikan bahwa jika penyelenggara tidak bisa memenuhi permodalan minimum seperti yang tertuang di POJK maka tentu akan ada sanksi dari regulator berupa teguran tertulis, kemudian ada pembatasan kegiatan usaha sampai dengan dicabut.
“Namun, kami yakin dari 26 perusahaan itu sudah dalam track untuk pemenuhan. Sebab, tahun pertama membutuhkan Rp 2,5 miliar, lain halnya jika membutuhkan Rp 12,5 miliar tahun ini, itu baru susah,” katanya.
Sebagai informasi, batas permodalan atau ekuitas fintech telah diatur dalam ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022.
Dalam beleid itu disebutkan penyelenggara fintech harus memenuhi modal atau ekuitas secara bertahap. Adapun tahap pertama dimulai pada 4 Juli 2023 dengan minimal permodalan senilai Rp 2,5 miliar.
Setelah itu, pada 4 Juli 2024 fintech harus memiliki modal minimum Rp 7,5 miliar dan berlanjut hingga Rp 12,5 miliar pada 4 Juli 2025 mendatang.
Sebelumnya, OJK juga sempat menyebut, dari 26 fintech yang belum memenuhi syarat permodalan, sebanyak 12 perusahaan masih memiliki ekuitas negatif.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Per April 2023 Tingkat TWP90 Fintech Naik, Ini Tanggapan OJK
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com