JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terkait aturan modal ekuitas minimum Rp 2,5 miliar yang belum dipenuhi 33 fintech lending.
Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah penyelenggara fintech lending yang belum memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp 2,5 miliar bertambah 33 entitas per April 2023.
Para pemain fintech lending ini memiliki tenggat hingga Selasa, 4 Juli 2023, untuk memenuhi batas ekuitas tersebut.
Adapun syarat permodalan fintech lending diatur dalam POJK 10/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau Fintech P2P Lending, yang diterbitkan pada pada 4 Juli 2022 lalu.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dinukil dari Beritasatu.com, Rabu (5/7/2023).
Baca juga: Berita Fintech Hari Ini: DPR Minta Kaji Ulang Moratorium Pinjol
Berita Fintech Indonesia: Wajib Penuhi Ekuitas Minimum
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, berdasarkan ketentuan tersebut, setiap penyelenggara fintech lending eksisting diwajibkan untuk memenuhi ekuitas minimum secara berkala sejak aturan diterbitkan.
“Tahun pertama, sebesar Rp 2,5 miliar. Kemudian, naik menjadi Rp 7,5 miliar pada tahun kedua, dan menjadi Rp 12,5 miliar pada tahun ketiga,” ucap Ogi Prastomiyono, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK, Selasa (4/7/2023).
Disampaikannya, POJK 10/2022 merupakan penyempurnaan regulasi yang diterbitkan OJK untuk industri fintech lending.
Aturan tersebut mengatur mulai dari penyelenggaraan kegiatan usaha, tata kelola, manajemen risiko, perlindungan konsumen, termasuk menyangkut permodalan penyelenggara.
“Tanggal 4 Juli ini menjadi tepat satu tahun POJK itu diterbitkan, kami memantau masih terdapat 33 perusahaan yang masih memiliki ekuitas di bawah Rp 2,5 miliar. Itu per April 2023, tapi nanti kita cek pada posisi terakhir ini apa mereka bisa memenuhi?” tegas Ogi.
Melihat ke belakang, maka jumlah penyelenggara fintech lending yang belum memenuhi ekuitas minimum tersebut tercatat mengalami peningkatan. Sebelumnya, OJK sempat menerangkan bahwa ada sebanyak 26 entitas dari 102 entitas yang memiliki modal di bawah Rp 2,5 miliar.
Masih banyaknya penyelenggara yang belum mencapai modal minimum itu tentu akan mendapat teguran dari pihak pengawasan OJK. Namun demikian, Ogi tidak merinci bentuk teguran yang dimaksud.
“Tentunya, OJK akan memberi regulatory action terhadap perusahaan-perusahaan fintech lending yang belum mencapai ekuitas minimum sebesar Rp 2,5 miliar,” tandas Ogi.
Berita Fintech Indonesia: P2P Lending Belum Penuhi Modal Rp2,5 Miliar, OJK Siapkan Sanksi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan bahwa regulator telah menyiapkan sederet sanksi kepada pemain fintech P2P lending yang belum memenuhi ekuitas minimum Rp12,5 miliar.
Per Mei 2023, OJK mencatat terdapat 33 pemain fintech P2P lending yang belum memenuhi ekuitas minimum Rp2,5 miliar.
Pemenuhan ekuitas ini dilakukan secara bertahap dan setiap penyelenggara wajib memiliki ekuitas paling sedikit Rp12,5 miliar pada 2025.
Ketentuan ini sebagaimana tercantum di dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 (POJK 10/2022) tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, tepatnya pada Pasal 50.
Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Bambang W. Budiawan menjelaskan bahwa POJK 10/2022 telah mengatur jenis-jenis sanksi apa saja yang dapat dikenakan, termasuk pentahapannya apabila perusahaan P2P lending tidak dapat memenuhi ketentuan modal minimum.
Bambang menyampaikan bahwa apabila pemain fintech P2P lending tidak dapat memenuhi ketentuan ekuitas minimum sesuai dengan pentahapannya, regulator akan mengenakan sanksi administratif secara bertahap.
“OJK akan mengenakan sanksi administratif secara bertahap kepada perusahaan P2P lending dimaksud yang terdiri dari surat peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, hingga pencabutan izin usaha,” kata Bambang, seperti dikutip dari Bisnis.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Sidang Perdana, Ini Pembahasan Fintech Lending iGrow vs Lender
Merujuk POJK 10/2022 pada bagian ketiga sanksi administratif Pasal 52 disebutkan bahwa pengenaan sanksi administratif dapat disertai dengan pemblokiran sistem elektronik penyelenggara.
POJK tersebut merincikan bahwa sanksi administratif berupa peringatan tertulis diberikan paling banyak tiga kali dengan masa berlaku masing-masing paling lama dua bulan.
Kemudian, apabila masa berlaku sanksi administratif berupa peringatan tertulis berakhir dan penyelenggara tetap tidak dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi, OJK mengenakan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha.
“Sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama enam bulan,” demikian bunyi Pasal 52 ayat (5) POJK 10/2022.
Namun, apabila masa berlaku sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan/atau pembatasan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, maka sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan/atau pembatasan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.
Cabut Sanksi Administratif
Adapun jika sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau pembatasan kegiatan usaha, fintech P2P lending telah memenuhi ketentuan ekuitas, maka OJK mencabut sanksi administratif berupa peringatan tertulis atau pembatasan kegiatan usaha.
“Dalam hal sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha masih berlaku dan penyelenggara tetap melakukan kegiatan usaha, OJK dapat langsung mengenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha,” sambungnya.
Selanjutnya, dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembatasan kegiatan usaha dan fintech P2P lending tidak juga memenuhi ketentuan ekuitas, OJK mencabut izin usaha fintech P2P lending yang bersangkutan.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: IPO Perusahaan Fintech, Pengamat: Upaya Perkuat Belanja Modal
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com