JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia terkait pemain aturan ekuitas OJK terhadap pemain industri financial technology (fintech).
Menyikapi hal itu, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, meminta perusahaan teknologi finansial alias fintech yang belum memenuhi batas nominal ekuitas OJK segera berbenah.
Berikut ini berita fintech Indonesia selengkapnya, seperti dinukil dari Bisnis.com, Senin (10/7/2023).
Baca juga: Produk Fintech di Indonesia: E-Wallet, P2P Lending, dan Lain-Lain
Berita Fintech Indonesia: Beberapa Strategi Bisa Jadi Opsi
Ada beberapa strategi yang dinilainya bisa jadi opsi. Salah satunya adalah lewat konsolidasi antar-pemain, seperti yang belakangan dilakukan beberapa bank.
Kemudian, opsi lain yang dinilai Huda bisa dijajaki adalah pendanaan ekuitas dari pihak ketiga. Selain ekuitas, dia berpendapat pentingnya mempertimbangkan kualitas credit scoring alias skor kredit.
Hal ini disebutnya penting karena beberapa tahun terakhir fintech cenderung mengalami kenaikan rasio tingkat kredit bermasalah.
“Kami merasa penggunaan data riwayat keuangan perlu dimasukkan dalam penilaian credit scoring-nya. Itu yang perlu didorong,” ujarnya, Minggu (9/7/2023).
Sebagai informasi, batas permodalan atau ekuitas fintech telah diatur dalam ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022.
Aturan ini menyebutkan penyelenggara fintech harus memenuhi modal atau ekuitas secara bertahap.
Tahap pertama dimulai pada 4 Juli 2023 dengan minimal permodalan senilai Rp 2,5 miliar. Setelah itu, pada 4 Juli 2024 fintech harus memiliki modal minimum Rp 7,5 miliar dan berlanjut hingga Rp 12,5 miliar pada 4 Juli 2025 mendatang.
Huda meyakini tujuan OJK dalam memberikan kewajiban pemenuhan ekuitas adalah untuk melindungi pengguna P2P lending.
Dengan demikian, apabila ada terjadi gangguan kinerja dari P2P lending, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman bisa mendapatkan kompensasi dari dana yang digunakan.
Tak hanya itu, dengan ekuitas yang kuat, maka membuat pengguna lebih yakin dan merasa aman dalam menggunakan platform tersebut.
Layaknya perbankan yang juga harus memiliki kewajiban ekuitas, penggunaan aplikasi diharapkan bisa ikut meningkat sejalan dengan naiknya kepercayaan pengguna.
Konsolidasi atau Merger
Senada dengan Huda, Ketua Umum Asosiasi Startup Teknologi Indonesia atau Association of Tech Startup Indonesia (Atsindo) Handito Joewono menyarankan fintech yang belum memenuhi kecukupan modal dan ekuitas mempertimbangkan konsolidasi atau merger. Modal adalah hal yang menurutnya paling penting.
“Itu memang bisnis mainannya pemain besar,” tekannya. Managing Partner dari Ideosource VC Edward Ismawan Chamdani menjelaskan kewajiban pemenuhan modal memang biasa dilakukan untuk melihat pertumbuhan perusahaan yang sehat dari pemain existing.
Selain itu, tentunya juga menaikan standar layanan maupun skalabilitas dari para pemain tekfin untuk meningkatkan layanan dan coverage.
Bagi perusahaan yang masih bergulat dengan persoalan ekuitas awal, dia menyebut salah satu solusinya memang bisa dilakukan dengan fundraising atau menggalang dana ke modal ventura baik lokal maupun asing.
Di luar opsi yang sebelumnya telah disebutkan Huda dan Handito, Edward juga melihat penawaran saham publik atau IPO bisa jadi opsi.
Namun, dengan catatan perusahaan tersebut mesti sudah bertumbuh dan cukup besar agar investor publik tertarik. Apabila skalanya lebih besar, merger dengan bank digital juga disebutnya bisa jadi skenario yang mungkin.
Baca juga: Berita Fintech Indonesia: Investree-Credgenics Kolaborasi Terkait Penagihan Pinjaman secara Digital
Berita Fintech Indonesia: Pembiayaan Fintech Lending Naik Jadi 19 T, OJK Optimistis UMKM Mampu Lebih Produktif
Sementara itu, mengutip Kontan.co.id, meskipun ekonomi global masih mengalami kontraksi, ekonomi Indonesia ternyata masih mampu resilien, khususnya pada sektor finansial.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Jumat (7/7), penyaluran pembiayaan fintech lending ke UMKM sebesar Rp19,76 triliun per Mei 2023 atau berkontribusi sebanyak 38,4% dari total outstanding pembiayaan fintech lending senilai Rp51,46 triliun.
Merujuk pada laporan OJK berjudul “Sektor Jasa Keuangan Terjaga Stabil di Tengah Divergensi Perekonomian Global” pada 4 Juli 2023, nilai outstanding pembiayaan fintech lending tersebut juga ikut tumbuh 28,11% year on year (yoy) dari Rp40,17 triliun pada Mei 2022.
Nilai outstanding pembiayaan tersebut didukung kategori perseorangan sebesar 34,72% yoy menjadi Rp45,64 triliun atau naik dari sebelumnya sebesar Rp33,87 triliun.
Rinciannya, kategori perseorangan untuk segmen UMKM mencatatkan outstanding pembiayaan senilai Rp15,63 triliun atau tumbuh 59,58% yoy dari Rp9,79 triliun, dan non UMKM mencapai Rp30,01 triliun atau meningkat 24,61% yoy dari Rp24,08 triliun.
OJK juga mencatat outstanding pembiayaan fintech di kategori badan usaha menurun 7,49% yoy menjadi Rp5,82 triliun atau turun dari Rp6,29 triliun.
Jika dirinci maka kategori badan usaha di segmen UMKM turun 4,34% yoy dari Rp4,31 triliun menjadi Rp4,13 triliun. Serta, non UMKM mencapai Rp1,69 triliun, turun 14,35% pada periode serupa tahun 2022 sebesar Rp1,97 triliun.
Berdasarkan data tersebut, OJK mengatakan terus mendukung akses keuangan kepada sektor UMKM yang produktif namun belum diimbangi pembiayaan sektor perbankan dan sektor keuangan formal lainnya.
Menurut OJK, fintech lending dapat menjadi alternatif pembiayaan cepat dan mudah bagi UMKM untuk mengembangkan usaha dan bisnis.
“OJK akan terus mendorong akses keuangan kepada sektor produktif, khususnya UMKM yang masih kesulitan untuk memperoleh pembiayaan dari sektor perbankan atau lembaga keuangan formal lainnya,” tulis OJK pada keterangan resminya di Instagram.
Baca juga: Tips Mengembangkan Bisnis Fintech dan Kelebihannya yang Perlu Diketahui
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com