Dunia Fintech

Berita Fintech Indonesia: Industri Harapkan Pajak Pinjol Direvisi

JAKARTA, duniafintech.com – Berita fintech Indonesia kali ini datang dari pemain industri financial technology (fintech) dan aturan pajak terbaru.

Adapun peraturan pajak ini terkait dengan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Berikut ini berita selengkapnya.

Berita Fintech Indonesia: Diharapkan Ada Klasifikasi Tertentu

Dilangsir dari Bisnis.com, dalam hal ini, para pelaku industri teknologi finansial (tekfin) pendanaan bersama (P2P lending) alias pinjaman online (pinjol) mengharapkan ada klasifikasi tertentu dalam aturan perpajakan baru sehingga mereka tidak terkena kewajiban bayar.

Untuk diketahui, aturan perpajakan untuk industri pinjol baru berlaku per 1 Mei 2022, tepatnya tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang PPh dan PPN Atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Adapun setoran pajak mulai dilaporkan dan dibayarkan per Juni 2022. Beleid aturan pajak pinjol ini memuat mekanisme pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas imbal hasil atau bunga yang diterima para pemberi pinjaman (lender), dengan pemotongan yang dilakukan secara langsung oleh setiap platform P2P lending.

Di samping itu, juga ada pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk segala fee dan komisi atas jasa platform pinjol yang diakses para pengguna—dalam hal ini disebut sebagai peminjam dana (borrower).

Menurut CEO & Co-founder PT Lunaria Annua Teknologi (KoinWorks), Benedicto Haryono, aturan perpajakan terbaru ini membawa dilema bagi platform. Pasalnya, pengenaan biaya yang lebih mahal itu terbukti menurunkan minat UMKM menjadi borrower P2P lending.

“Aturan perpajakan ini telah membawa cost of financing para UMKM menjadi 20—30% lebih mahal dari sebelumnya. Kami bisa saja bebankan semua ke mereka, tapi setiap platform tentu berupaya memberikan biaya layanan yang kompetitif buat pelanggan sehingga ada beberapa aspek yang kami korbankan,” katanya, Jumat (19/8/2022) lalu.

Ia menerangkan, pada akhirnya, kebijakan pajak itu berdampak terhadap para platform dari sisi kontraksi pendapatan. Adapun jalan menuju profitabilitas juga menjadi lebih lama, tidak terkecuali bagi KoinWorks. Kata Ben lagi, penerapan aturan perpajakan bagi pinjol kontradiktif terhadap visi pemerintah sendiri, yang mengaku terus mendorong peningkatan inklusi keuangan bagi pelaku UMKM.

Apalagi, platform pinjol seharusnya setara dengan jasa keuangan lain yang mendapat fasilitas pembebasan PPN. Maka dari itu, jika aturan perpajakan untuk industri tekfin diputuskan tetap ada, ia pun secara umum mendukung adanya revisi aturan yang mengecualikan segmen pengguna UMKM dari pengenaan PPN.

“Mungkin kalau bisa ada klasifikasi berbeda berdasarkan customer based, itu ide yang bagus, karena memang pembiayaan modal kerja UMKM itu berbeda sekali dengan pembiayaan dana tunai buat individu,” tutupnya.

Berita fintech Indonesia

Sektor Produktif Dikhawatirkan Berguguran

Sebelumnya, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkap hal senada, yakni jika pengenaan PPN dipukul rata ke semua jenis platform maka berkemungkinan jumlah platform yang fokus di sektor produktif akan berguguran.

“Takutnya, banyak platform nanti berpikir, dengan risiko yang sama, mendingan menjadi pinjol konsumtif saja sekalian karena lebih mudah, cepat untung pula. Maka dari itu, pemisahan kategori pengenaan PPN juga bisa mendorong industri P2P lending memperbesar porsi penyaluran ke sektor produktif,” paparnya, belum lama ini.

Baca jugaBerita Fintech Indonesia: 5 Ciri-ciri Fintech Lending Ilegal

Di lain sisi, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah, pihaknya akan terus mengusulkan agar pemerintah memberikan relaksasi, misalnya penangguhan penerapan aturan dalam konteks tertentu, dengan harapan para platform dalam industri bisa tumbuh lebih besar terlebih dahulu.

Sebagai contoh, saat nanti penyaluran industri P2P lending sudah mencapai Rp500 triliun per tahun. Adapun sebagai perbandingan, akumulasi penyaluran industri sepanjang tahun lalu baru mencapai Rp155,97 triliun, sedangkan pada tahun ini proyeksinya menyentuh sekitar Rp225 triliun.

“Kalau industri P2P lending sudah mencapai tahap sebesar itu, negara mungkin bisa dapat lebih besar lagi karena platform P2P lending punya kesempatan lebih lama untuk berkembang dan digunakan oleh masyarakat secara lebih luas. Negara juga dapat efek UMKM tumbuh lebih cepat, karena kami punya kesempatan menjangkau UMKM yang ada di bottom of pyramid,” sebutnya.

Baca jugaBerita Fintech Indonesia: PPh Pinjol Mencapai Rp83 Miliar

Hal itu karena keberadaan industri tekfin P2P lending utamanya berperan menyediakan akses kredit masyarakat unbanked dan underserved, termasuk UMKM, yang notabene bertahun-tahun tidak terlayani akses kredit perbankan maupun lembaga keuangan konvensional lain.

“Kami masih berharap suatu saat aturan perpajakan ini bisa ditinjau ulang karena berpotensi kontraproduktif terhadap tujuan tersebut. Terlebih, lembaga keuangan lain pun sampai saat ini tidak kena aturan PPN,” paparnya.

Berita Fintech Indonesia: Penerimaan Pajak Pinjol Rp83 M

Sebelumnya diberitakan duniafintech.com, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari layanan teknologi finansial pinjaman online (pinjol) sebesar Rp83,15 miliar. Adapun PPh pinjol tersebut berlaku secara resmi sejak tiga bulan terakhir.

“Mulai diberlakukan pada Mei dan mulai dibayarkan di Juni. Makanya, sebetulnya masih sangat kecil, tapi mulai bagus,” ucap Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dalam konferensi pers APBN KiTA Agustus pada Kamis (12/8) lalu.

PPh atas pinjol ini diketahui dikenakan atas penghasilan bunga yang diperoleh pemberi pinjaman. Ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 69 2022. Penghasilan atas bunga yang diperoleh peminjam dikenakan potongan pajak penghasilan sebesar 15% untuk wajib pajak dalam negeri sementara wajib pajak luar negeri dikenakan tarif 20%.

Dirincikan Sri Mulyani, penerimaan PPh pinjol dari wajib pajak dalam negeri sebesar Rp63,25 miliar, sedangkan penerimaan dari wajib pajak luar negeri ada di angka Rp19,9 miliar.

Di samping PPh, pemerintah pun sebenarnya mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) fintech, dengan berlaku tarif umum 11%. Ketentuan soal PPN fintech ini pun termuat dalam beleid yang sama dengan PPh pinjol. Namun, Sri Mulyani tidak merincikan besaran penerimaan PPN fintech ini.

Pada pasal 19 ayat (3) beleid itu, dasar pengenaan PPN untuk fintech berupa fee, komisi merchant discount rate atau imbalan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima penyelenggara.

PPN yang terutang atas fintech ini dihitung dengan mengalikan tarif 11% dengan dasar pengenaan PPN.  Sri Mulyani pun melaporkan bahwa pihaknya sudah mengumpulkan penerimaan pajak Rp88,93 miliar dari pajak kripto setelah tiga bulan diimplementasikan, yang rinciannya adalah PPh pasal 22 atas transaksi kripto sebesar Rp42,6 miliar dan PPN dalam negeri sebesar Rp46,33 miliar.

Sebagai informasi, ketentuan pajak kripto ini diatur dalam PMK 68 2022. Atas penyerahan aset kripto dikenakan PPN 0,11% kalau transaksi melalui pedagang fisik dan 0,22% lewat bukan pedagang fisik.

Sementara itu, penghasilan yang diterima penjual aset kripto, penyelenggara, dan penambang dikenakan PPh final 0,1%. Ditambahkan Sri Mulyani, pihaknya juga telah mengumpulkan Rp3,02 triliun dari PPN penyelenggaran melalui sistem elektronik (PMSE). Sejauh ini, sudah ada 121 perusahaan PMSE yang ditunjuk untuk memungut PPN tarif 11%.

Baca jugaBerita Fintech Indonesia: 8 Tips Investasi di Fintech

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com.

 

Penulis: Boy Riza Utama

Exit mobile version