Dunia Fintech

Bitcoin adalah Sarana yang Buruk untuk Mendanai Aksi Terorisme

Pada tanggal 9 Januari 2017 yang lalu, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin memberikan pernyataan yang cukup mengejutkan. Ia mengatakan kalau pihaknya menemukan indikasi penggunaan sistem pembayaran PayPal maupun uang digital Bitcoin untuk mendanai aksi terorisme di Indonesia.

Hal ini pun diamini oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia. Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Kombes Martinus Sitompul mengatakan kepada BeritaSatu kalau dari sejumlah kasus terorisme yang terungkap, termasuk jaringan Bahrun Naim dari Suriah, ada indikasi kalau mereka telah memanfaatkan kedua metode pembayaran tersebut.

”Namun sejauh ini belum bisa dilakukan penangkapan karena tidak ada fakta perbuatan melanggar hukum. (Penangkapan baru bisa dilakukan) apabila ada perbuatan melanggar hukum, seperti ketika dana tersebut digunakan untuk membeli bahan peledak, atau bila yang mengirimkan merupakan pelaku teror yang dicari polisi,” ujar Martinus.

Kiagus sendiri menyatakan kalau PPATK membutuhkan kerja keras untuk menelusuri transaksi yang dilakukan lewat PayPal dan Bitcoin tersebut. “Bukan berarti tidak bisa, namun perlu beberapa langkah untuk menelusurinya.” Itulah mengapa PPATK berusaha menggandeng Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta beberapa badan pemerintah terkait, untuk menangani kasus seperti ini.

Pertanyaannya, benarkah mata uang digital berbasis blockchain seperti Bitcoin memang merupakan “surga” bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan transaksi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun coba menghubungi Suasti Atmastuti Astaman, Business Development Manager dari salah satu platform jual beli Bitcoin di tanah air, yaitu Bitcoin Indonesia.

Bisa digunakan untuk mendanai terorisme, tapi…

Sistem Block Chain yang digunakan Bitcoin dan Ethereum

Sistem Blockchain yang digunakan Bitcoin

Menurut Suasti, layaknya mata uang lain di seluruh dunia, Bitcoin memang bisa dijadikan sarana untuk mendanai aksi terorisme, pencucian uang, dan tindakan kriminal lainnya. Namun bedanya, Bitcoin menyediakan sebuah buku besar untuk melacak semua transaksi yang terjadi sejak pertama kali Bitcoin muncul hingga sekarang.

“Seluruh transaksi Bitcoin berjalan dengan teknologi blockchain. Oleh karena itu, siapa pun bisa melacak riwayat transaksi Bitcoin, mulai dari akun pengirim, penerima, kapan transaksi tersebut berlangsung, hingga besarnya Bitcoin yang dikirimkan. Kamu bisa mencobanya melalui situs-situs seperti blockchain.info, blockcypher.com atau blockr.io,” jelas Suasti kepada Tech in Asia Indonesia.

Itulah mengapa, menurut Suasti, Bitcoin merupakan salah satu sarana paling buruk untuk melakukan pencucian uang atau memberi dana kepada para teroris. Jika pihak kepolisian menemukan alamat rumah dari seorang pengguna Bitcoin misalnya, maka mereka akan bisa memeriksa semua transaksi yang dilakukan oleh orang tersebut di buku besar Bitcoin.

Hal ini bahkan telah dilakukan oleh lembaga penegak hukum di Amerika Serikat, FBI, yang bekerja sama dengan komunitas di bidang teknologi blockchain, yaitu The Blockchain Alliance. Mereka mencoba untuk bersama-sama memerangi tindak kejahatan di dunia maya.

Seratus ribu transaksi Bitcoin terjadi di tanah air setiap bulan

Di Indonesia, Bitcoin telah mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan dengan volume perdagangan mencapai sekitar 100.000 transaksi setiap bulan. Meski begitu, angka tersebut jelas masih jauh dari volume transaksi di Cina yang bisa mencapai 10 juta transaksi per bulan.

Bitcoin Indonesia sendiri kini telah mempunyai lebih dari 230.000 pengguna. “Mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan Bitcoin untuk melakukan investasi, karena harganya yang cukup fluktuatif,” tutur Suasti.

Suasti menjelaskan kalau ada dua jenis pengguna yang aktif melakukan transaksi di Bitcoin Indonesia. Yang pertama adalah para trader, yang biasanya melakukan jual beli secara rutin demi mendapat keuntungan jangka pendek. Mereka akan langsung membeli Bitcoin begitu harganya turun, dan langsung menjual begitu harganya naik.

Sedangkan tipe kedua adalah para investor, yang biasanya akan menyimpannya dalam jangka waktu yang lama, dengan harapan nilai Bitcoin tersebut akan meningkat berkali-kali lipat di masa depan.

“Selain karena potensi keuntungan yang ada, para investor tersebut juga berminat menggunakan Bitcoin karena prosesnya yang mudah, dan hanya membutuhkan modal kecil. Meski harga satu Bitcoin bisa mencapai jutaan rupiah, namun kamu sebenarnya sudah bisa melakukan transaksi dengan modal Rp1.000,” tutur Suasti.

Meski begitu, Bank Indonesia hingga kini belum mengeluarkan aturan resmi terkait penggunaan Bitcoin. Itulah mengapa para pengguna Bitcoin tidak akan mendapat perlindungan pemerintah apabila mereka merasa tertipu atau merugi ketika menggunakan uang digital ini.

“Saya rasa Indonesia akan menunggu hingga negara-negara lain mulai meregulasi transaksi Bitcoin dengan aturan yang jelas, baru Indonesia akan melangkah mengikuti jejak mereka,” pungkas Suasti.

Sumber: Techinasia

Exit mobile version