JAKARTA, duniafintech.com – Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk memberikan subsidi Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng senilai Rp300 ribu rupiah, namun kalangan buruh diketahui menolak bantuan itu, sedangkan dari sisi pedagang malah meminta agar nilainya ditambah menjadi Rp500 ribu—Rp2 juta.
Sebagai informasi, sebelumnya pemerintah menggelontorkan dana dari cadangan Bendahara Umum Negara (BUN) sebesar Rp750 miliar untuk memberikan BLT kepada 2,5 juta pedagang kaki lima (PKL) makanan yang menggunakan minyak goreng. Dana itu diberikan lewat TNI dan Polri.
Nantinya, pemerintah bakal menyalurkan BLT minyak goreng sebesar Rp100 ribu untuk masing-masing penerima selama April—Juni 2022. Akan tetapi, pembayaran bakal dilakukan sekaligus sebesar Rp300 ribu per penerima mulai bulan ini.
Akan tetapi, kalangan buruh menolak rencana itu. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, pihaknya menolak usulan pemerintah yang ingin memberikan subsidi minyak goreng melalui BLT Rp300 ribu kepada para buruh.
Ia memandang, program BLT menjadi ladang korupsi para pejabat yang tidak bertanggung jawab dan hal itu disimpulkannya usai melihat beberapa kasus kebelakang terkait korupsi bantuan sosial saat pandemi Covid-19.
“BLT hanya gudang korupsi, semua Mensos kasus-kasus KPK karena BLT dan bansos,” ucapnya dalam sebuah konferensi pers, dikutip pada Rabu (6/4).
Dengan alokasi anggaran yang ada sebesar Rp6,9 triliun, imbuhnya, pemerintah seharusnya memberikan subsidi bukan hanya untuk minyak goreng curah, melainkan juga untuk minyak goreng kemasan meski belakangan terbukti gagal.
“Tidak usah BLT, rakyat enggak butuh BLT. Yang dibutuhkan, harga minyak goreng turun,” tegasnya.
“Oleh karena itu kami menolak BLT, yang benar subsidinya selain ke minyak goreng curah, juga ke kemasan.”
Lebih jauh, dirinya menuding bahwa langkah memberikan BLT kepada masyarakat bukan sebenar-benarnya membela rakyat miskin, melainkan hanyalah menguntungkan para produsen minyak goreng, yang dengan leluasa memainkan harga minyak kemasan di pasaran.
“Kalau ngasih BLT itu bukan belain orang miskin, (tetapi) belain para taipan pemilik CPO. Artinya, taipan-taipan itu tetap menjual minyak goreng dengan harga pasar, untungnya berkali-kali lipat, kok negara tunduk sama mafia minyak goreng,” tutupnya.
Pedagang minta ditambah
Sementara itu, seorang pedagang bernama Fatima mengaku bahwa dirinya meminta BLT minyak goreng seharusnya Rp500 ribu sebab BLT senilai Rp300 ribu tersebut dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan membeli minyak goreng selama tiga bulan. Pasalnya, saat ini harga minyak goreng sudah mencapai Rp50 ribu per dua liter.
“Karena harga minyak goreng yang 2 liter saja sudah Rp50 ribu. Kalau Rp300 ribu, cuma cukup beli 6 kemasan. Paling cuma bisa buat seminggu,” katanya.
Pedagang gorengan yang juga berjualan teh manis itu menyebut bahwa dalam satu bulan, dirinya menghabiskan hampir Rp1 juta untuk membeli minyak goreng. Ia pun memilih minyak goreng kemasan daripada curah demi menjaga kualitas gorengannya.
Harga minyak goreng di agen saat ini, sambungnya, sama mahalnya antara minyak goreng kemasan dan curah. Belum lagi, minyak goreng curah memang langka di pasaran.
“Itu paling saya pakai Rp50 ribu (dua liter) enggak sampai dua hari. Saya biasanya butuh 20—30 kemasan minyak goreng dua liter setiap bulan,” jelasnya.
Di samping itu, BLT yang dianggarkan pemerintah untuk pedagang, kata dia lag, mestinya dinaikkan menjadi Rp1,5 juta—Rp2 juta jika benar-benar ingin membantu rakyat yang kesulitan memperoleh minyak goreng demi keperluan mencari nafkah.
Penulis: Kontributor/Boy Riza Utama
Editor: Rahmat Fitranto