Site icon Dunia Fintech

Bunga Pinjol Menurun, Lender Siap-Siap Dapatkan Return Lebih Rendah

bunga pinjol menurun

Pemerintah bersama dengan Asosiasi Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), dan stakeholder terkait menyatakan komitmennya dalam pemberantasan pinjol ilegal untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat.

Salah satu bentuk komitmen tersebut adalah dengan menurunkan suku bunga pinjaman sebesar 50% dari semula 0,8% per hari, menjadi 0,4% per hari. Komitmen ini diserukan oleh AFPI sebagai asosiasi resmi P2P lending Tanah Air.

Direktur Utama Kredit Pintar, Wisely Wijaya mengatakan untuk mematuhi komitmen tersebut, sebagai platform berizin dan terdaftar di AFPI pihaknya juga telah menurunkan bunga pinjaman menjadi 5,17% untuk tenor tiga bulan.

Artinya, jika dibagi per hari maka bunga pinjaman tersebut hanya sebesar 0,1%, jauh lebih rendah dari saran AFPI yang maksimal sebesar 0,4% per hari.

“Alasan utama penurunan bunga adalah utk kepatuhan terhadap peraturan yang sudah diterbitkan. Kedua memberi insentif lebih kepada peminjam ya g sudah kami layani selama ini, agar dapat menikmati bunga yang lebih tinggi,” katanya saat berbincang dengan Duniafintech.com, Selasa (23/11).

Penurunan Bunga Berdampak Pada Penurunan Return Lender

Hanya saja, menurutnya dengan penurunan bunga pinjaman itu akan berdampak luas kepada pemberi pinjaman atau lender. Lender yang selama ini menikmati imbal hasil atau return yang tinggi, dengan adanya penurunan bunga ini tentu akan berdampak kepada penurunan return pula.

“Mau enggak mau lender harus juga mengurangi jumlah return yang didapatkan. Tentunya lender ingin dapat return yang sebesar-besarnya,” ujarnya.

Dia mengatakan, penurunan imbal hasil bagi lender tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi. Pelaku industri fintech lending. Karena sebagai platform mereka hanya mempertemukan antara peminjam dan yang memberi pinjaman.

Dengan adanya penurunan bunga pinjaman yang berdampak kepada penurunan imbal hasil, dikhawatirkan lender enggan untuk menyalurkan pinjamannya.

“Jadi ini tantangan tentunya buat industri kita buat dapat lender yang lebih banyak,” ucapnya.

Konsumen Dengan Tingkat Risiko Tinggi Tak Dapat Pinjaman

Tak hanya dari sisi lender, tantangan yang sama juga akan dialami dari sisi peminjam atau borrower. Pasalnya, peminjam dengan risiko yang lebih tinggi atau high risk berpotensi tidak akan terlayani dengan penurunan ini.

Sebab, platform akan melakukan seleksi yang lebih ketat agar tingkat kredit macet (non performing loan /NPL) atau tingkat wanprestasi 90 hari menjadi meningkat. Karena dengan bunga pinjaman turun, orang akan lebih gampang meminjam.

“Karena, base dari bisnis industri ini adalah risk based pricing, jadi calon pengguna dengan resiko tinggi akan diberikan bunga lebih tinggi, sedangkan yang risiko kecil bunga akan lebih kecil,” ucapnya.

Dengan demikian nasib peminjam dengan risiko tinggi ini akan semakin terpinggirkan dari layanan industri keuangan. Pasalnya, peminjam high risk ini sudah hampir pasti tidak akan terlayani oleh perbankan atau industri keuangan konvensional.

Namun, tempatnya bergantung selama ini untuk memperoleh pinjaman atau pembiayaan, yaitu fintech lending juga terancam tidak mampu lagi memfasilitasi kebutuhannya.

Inilah menurut Wisely yang menjadi tantangan juga bagi industri fintech legal nasional. Jangan sampai, karena tidak ada layanan keuangan yang menolongnya, maka segmen tersebut terjebak dalam pinjaman online ilegal.

“Tantangannya kalau saya lihat bagaimana cara-cara perusahaan yang eksis ini (pinjol legal) bisa terus melayani segmen yang berisiko tinggi, bagaimana perusahaan bisa mendapatkan data lebih banyak, melakukan asesmen lebih akurat lagi kepada mereka-mereka yang berisiko tinggi,” tukasnya.

Mendapatkan Akses Data Konsumen Menjadi Solusi

Adapun solusi dari persoalan tersebut adalah dibutuhkan akses data konsumen yang lebih besar dengan mengintegrasikan data konsumen seperti KK, KTP, e-commerce dan dumcapil.

Menurut Wisely, hal ini dibutuhkan untuk menilai profil risiko konsumen. Sehingga keluaran data analisisnya lebih detil dan komprehensif. Dengan begitu, masyarakat dengan risiko tinggi masih mungkin dilayani.

“Jadi kita harus menurunkan resikonya juga, caranya dengan mendapatkan akses data lebih luas dan lebih banyak dibandingkan data jumlah member saat ini. Kita bisa manfaatkan data ini untuk memperbaiki tingkat risiko kita,” tuturnya.

 

Penulis: Nanda Aria

Editor: Anju Mahendra

Exit mobile version