Site icon Dunia Fintech

Cerita Pahit WNI Karantina Harus Bayar Rp8,2 Juta dan Menunggu Berjam-jam

Cerita Pahit WNI Karantina Harus Bayar Rp8,2 Juta

JAKARTA, duniafintech.com – Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan perjalanan luar negeri dan baru tiba di Indonesia diminta untuk menjalani karantina setibanya di tanah air. Di balik itu, terdapat kisah mengenai seorang WNI yang karantina dan membayar sampai Rp8,2 juta serta menunggu berjam-jam. Bagaimana kisahnya?

Menurut ketentuan pemerintah, masa karantina sendiri berlangsung selama 10 atau 14 hari, bergantung dari negara asal. Merujuk pada Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 25 Tahun 2021 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional pada Masa Pandemi Covid-19, pekerja migran Indonesia (PMI), pelajar/mahasiswa, dan pegawai pemerintah yang kembali dari perjalanan dinas luar negeri akan memperoleh fasilitas karantina gratis yang ditanggung oleh pemerintah.

Di sisi lain, bagi WNI di luar tiga kriteria tadi dan WNA, termasuk diplomat asing, bisa menjalani karantina di tempat akomodasi karantina berbayar. Akan tetapi, ternyata, belakangan ini kebijakan karantina tersebut menuai polemik. Pasalnya, WNI mengeluhkan mahalnya biaya untuk karantina serta prosesnya juga cukup lama.

Bayar Rp8,2 juta

Adapun kisah ini dituturkan oleh Riza Nasser, seorang warga negara Indonesia (WNI) bernama yang baru kembali ke Indonesia dari perjalanan luar negeri. Dilangsir dari Kompas.com, Jumat (24/12), Riza membeberkan cerita pahitnya menjalani masa karantina di Indonesia.

Lantaran keterbatasan biaya, yang bersangkutan mengaku terpaksa menunggu selama berjam-jam hingga akhirnya bisa mendapatkan tempat. Dikisahkan Riza, pada mulanya ia ditawari oleh petugas di bandara untuk karantina di hotel dengan biaya mandiri Rp8,2 juta, sebagaimana sudah ditentukan oleh petugas dan hanya hotel itu yang dapat dipilih sebagai lokasi karantina.

“Mereka sudah mematok langsung. Hanya ini hotel yang ada dan Anda harus dikarantina di sini,” ucapnya.

“Tidak tidak ada opsi lain.”

Akan tetapi, sebab karena merasa tak punya biaya sebanyak itu, ia pun mencoba mencari alternatif lain. Riza pun lantas mengutarakan keberatannya kepada petugas bandara. Oleh petugas, Riza kemudian disarankan untuk meminta diskresi ke anggota TNI yang mengatur jalannya proses karantina di bandara kala itu.

Anggota TNI yang sempat memarahi Riza itu lantas menyuruhnya bergabung dengan pata pekerja migran Indonesia (PMI) yang juga sedang menunggu dibawa ke lokasi karantina.

“Saya menunggu di belakang itu. Saya melihat ada 60 lebih orang yang bernasib sama dengan saya,” jelasnya.

Harus menunggu berjam-jam

Adapun di kelompok itu, ia lantas berkenalan dengan warga yang baru pulang dari Pakistan. Menurut pengakuan warga itu, dirinya telah menunggu di bandara sejak pukul 07.00 pagi, sedangkan kala itu sudah pukul 21.00.

Lantas, sekitar pukul 02.00 dini hari, petugas kemudian mendata warga yang hendak dikarantina. Diakui Riza, proses pemindahan ke tempat karantina begitu panjang dan memakan waktu lama.

“Prosesnya panjang sampai dari imigrasi, kemudian keluar ke bis yang disediakan, paspor kami disita, baru kami dibawa ke Rusun Pasar Rumput sekitar pukul 02.30,” ungkapnya.

Setibanya di lokasi karantina di Rusun Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Riza dan warga lainnya ternyata juga tidak bisa langsung masuk. Pasalnya, mereka pun harus menunggu selama berjam-jam di dalam bus.

Kemudian, sekitar pukul 07.00, bus yang ditumpangi oleh Riza dan kawan-kawannya baru dapat masuk ke halaman depan Rusun Pasar Rumput. Tiga jam kemudian, atau sekitar pukul 10.00, bus ini baru bisa masuk ke lokasi.

Meski begitu, Riza dan rombongan pada akhirnya baru benar-benar masuk ke area karantina sekira pukul 13.30. Lebih jauh, Riza mengaku sangat menyayangkan prosedur tersebut. Paslanya, di samping mahal dan harus menunggu lama, hal itu juga berpotensi meningkatkan penularan virus corona.

“Saya seperti dikarantina di dalam bis. Batuk-batuk juga, saya juga khawatir ada yang batuk, AC menyala kencang waktu itu juga hujan di luar,” paparnya.

“Jadi, betapa memang mengerikan kami dikarantina di dalam untuk menunggu masuk ke dalam rusun.”

 

Penulis: Kontributor

Editor: Anju Mahendra

Exit mobile version