JAKARTA, duniafintech.com – Penagihan pinjaman online (pinjol) melalui jasa debt collector tengah menjadi sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terkait hal itu, OJK tengah mengkaji pelarangan penggunaan debt collector untuk menagih utang pinjol.
Menanggapi hal itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengaku sedang memikirkan solusi mengenai masalah penagihan dari sejumlah platform fintech pendanaan bersama (P2P lending) yang tengah menjadi sorotan otoritas.
Menurut Ketua Bidang Hukum, Etika & Perlindungan Konsumen Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Ivan Nikolas Tambunan, pihaknya bersama OJK juga masih mendiskusikan fenomena penagihan yang dilakukan oleh P2P lending menggunakan jasa pihak ketiga.
“Industri juga sedang mengkaji bagaimana cara untuk mengatasi hal ini dan apa saja yang perlu kami benahi, tapi, menurut saya, kalau hanya melarang kolektor pihak ketiga, tak lantas menyelesaikan masalah secara menyeluruh,” katanya, dikutip dari Bisnis.com, Selasa (8/3/2022).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sendiri sebelumnya mengungkap, isu pelanggaran etika dari tenaga penagihan menjadi salah satu yang sering dikeluhkan oleh masyarakat, khususnya dari tenaga penagih pihak ketiga atau outsourcing.
Dalam hal ini, OJK pun mulai mengkaji adanya kemungkinan tenaga penagihan pihak ketiga menjadi terlarang bagi industri tekfin pendanaan bersama. Itu berarti, proses penagihan hanya dapat dilakukan oleh pihak internal suatu platform sebagai lembaga yang memberikan pinjaman.
AFPI sendiri berpandangan, sejatinya, pembenahan dapat dilakukan dari beberapa sisi, di antaranya pendidikan dan persiapan khusus tenaga penagih, adanya ketentuan sanksi yang lebih tegas, dan pengenaan blacklist seseorang atau suatu entitas tenaga penagih yang terbukti melanggar ketentuan.
“Sebenarnya, isu tenaga penagihan ini terutama dialami para platform dengan produk utama consumer lending atau cash loan ke perorangan ya. Nilai pinjamannya borrower pun biasanya kecil, jadi memang lebih efisien mengandalkan komunikasi jarak jauh. Ini sebenarnya yang kerap menimbulkan kesalahpahaman,” tuturnya.
Hal itu berbeda, sambungnya, dengan para pemain yang fokus menyajikan pinjaman produktif ke UMKM. Pasalnya, jika sektornya demikian, umumnya penagihan internal saja sudah cukup. Hal itu karena pelaku usaha pasti punya ekosistem digital atau jaringan rantai pasok yang bisa bersifat sebagai penjamin.
Entitas terkait itulah, lanjutnya, yang biasanya punya kerja sama dengan para platform. Maka dari itu, sekali saja pelaku UMKM punya iktikad buruk dengan sengaja tidak mengembalikan pinjaman, mereka akan berpotensi tidak dapat lagi melanjutkan usahanya.
AFPI diketahui tidak hanya beranggotakan 103 platform P2P lending berizin OJK, tetapi juga puluhan perusahaan anggota pendukung ekosistem tekfin P2P lending, antara lain, termasuk perusahaan penyedia jasa penagihan. Di samping itu, AFPI juga terus memastikan bahwa penagihan dari debt collector dalam ekosistem tekfin P2P lending legal tidak bakal melampaui batas, layaknya yang dilakukan oleh debt collector sindikat pinjaman online (pinjol) ilegal.
Terlebih lagi, aturan pun menegaskan bahwa pemain tekfin P2P lending hanya boleh mengakses data pengguna berupa kamera, mikrofon, dan lokasi. Dalam hal ini, pemain dilarang untuk mengakses data pribadi peminjam, terlebih lagi menyalahgunakan data itu untuk meneror dan mempermalukan korban, layaknya yang dilakukan pinjol ilegal.
Penulis: Kontributor/Boy Riza Utama
Admin: Panji A Syuhada