JAKARTA, duniafintech.com – Diskon pajak barang mewah (PPnBM) untuk mobil baru jika berlanjut hingga awal tahun 2022 diyakini akan membawa potensi rebound untuk outstanding di sektor multiguna lebih cepat dari perkiraan. Keyakinan ini disampaikan oleh industri pembiayaan (multifinance) dan leasing.
Menurut statistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Oktober 2021, total piutang pembiayaan neto senilai Rp358,96 triliun masih terkoreksi 2,9 persen (year-to-date/ytd) sebab terdorong pembiayaan multiguna senilai Rp206,77 triliun yang masih minus 7,05 persen (ytd) dari akhir tahun lalu.
Di sisi lain, komponen pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja, pembiayaan berbasis syariah, dan pembiayaan lain-lain menurut persetujuan OJK kompak sudah bertumbuh positif jika dibandingkan dengan akhir periode 2020.
Dikatakan Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, pembiayaan multiguna yang didorong oleh kredit otomotif dan barang konsumtif diproyeksi baru rebound secara bertahap dan perlahan sampai menjelang akhir tahun depan.
“Tahun depan setelah kredit ritel rebound pelan-pelan, semoga total piutang pembiayaan industri bisa tumbuh 3 persen dulu dari akhir 2022, tapi tetap dengan asumsi kondisi outstanding di segmen korporasi stabil dan tidak ada lonjakan kasus pandemi Covid-19 lagi,” katanya, seperti dkutip oleh Bisnis.com, Selasa (21/12) kemarin.
Disampaikannya, kredit mobil baru jelas menjadi salah satu sektor penentu yang dapat mempercepat periode rebound kredit multiguna. Pasalnya, mobil baru menyumbang nominal outstanding paling besar daripada objek pembiayaan lainnya.
Karena itu, sambungnya, perpanjangan diskon PPnBM mobil baru hingga awal tahun depan bakal berpengaruh besar bagi industri. Adapun calon debitur multifinance pembeli mobil baru juga tidak akan dikagetkan dengan lonjakan harga pasaran mobil.
“Periode diskon PPnBM yang sedang berlangsung terbukti bisa mendongkrak kinerja booking dan memperbaiki aset piutang pembiayaan sebagian besar multifinance yang bermain di kredit mobil baru. Outstanding segmen ini secara industri juga bisa terangkat dalam waktu dekat. Jadi, kalau diperpanjang, jelas sangat positif buat kami, tapi selama belum ada keputusan resmi, pengaruhnya belum akan masuk dalam proyeksi,” tuturnya.
Di sisi lain, Direktur Sales & Distribusi PT Mandiri Tunas Finance (MTF) William Francis, juga mengungkapkan harapannya akan adanya perpanjangan periode diskon PPnBM mobil baru, minimal hingga kuartal I/2022.
“Kalau dari kami, harapannya tetap diperpanjang supaya momentum kenaikan penjualan mobil baru tetap berjalan dengan baik. Kekhawatiran kami, dengan hilangnya diskon PPnBM, akan mengurangi minat pembelian mobil baru,” katanya.
Sementara itu, menurut Direktur Utama BCA Finance, Roni Haslim, pihaknya berharap agar diskon PPnBM ditanggung pemerintah ini diperpanjang dengan aturan serupa seperti yang berlaku sekarang.
Saat ini, sejumlah pihak menyatakan bahwa jika diskon PPnBM berlanjut pada tahun depan maka basis pengenaan potongan diskon bakal diubah ke segmen mobil yang bisa memenuhi tingkat emisi kendaraan dan efisiensi bahan bakar tertentu, layaknya regulasi PPnBM terbaru.
“Semoga diperpanjang karena harga mobil akan tetap terjangkau, terutama yang sedang laku keras. Adapun terkait basis pengenaan diskon, semoga masih bisa menjangkau mobil-mobil segmen serupa seperti saat ini karena kami lihat yang menikmati sekarang itu memang khalayak umum dan mereka ini benar-benar membutuhkan mobil,” jelasnya.
Insentif PPnBM jangan diberikan kepada semua mobil
Di sisi lain, menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mereka berharap bahwa insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ini tidak diberlakukan untuk semua mobil.
Dikatakan Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, insentif PPnBM ini terbukti memberikan dampak positif untuk segala pihak, yakni masyarakat yang dibebaskan pajak ini, industri otomotif yang bisa berkembang dan untuk pemerintah, adanya pertumbuhan ekonomi.
“Dari PPnBM DTP potential lost-nya di sisi pemerintah, yaitu PPnBM yang seharusnya dibayarkan dan dapat diterima sebagai revenue, namun dibebaskan. Tapi ternyata potential gain-nya , hasil yang didapatkan dari bebaskan PPnBM lebih banyak, salah satu indikasinya ada kajian yang dilakukan selama 3 bulan pada Maret sampai Juni , cost-nya itu sekitar Rp2 triliun, namun gain-nya lebih tinggi itu Rp5 triliun lebih,” katanya, kemarin (21/12).
Seharusnya, imbuh Kukuh, terdapat beberapa kendaraan-kendaraan yang dibebaskan dari PPnBM ini, misalnya mobil Low Cost Green Car (LCGC) tidak terjadi lantaran dianggap bukan sebagai barang mewah.
“Sudah selayaknya tidak dikenakan lagi PPnBM. Jadi, konsep pengenaan barang mewah itu dikenakan pada barang atau benda yang diupayakan adanya batasan kepemilikan,” sebutnya.
Untuk diketahui, mobil LCGC sendiri memperoleh keistimewaan lantaran dibebaskan dari PPnBM berkat keberadaan Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 33/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.
Kemudian, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73/2019, mobil LCGC dikenakan tarif pajak sebesar 15 persen dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) sebesar 20 persen dari harga jual.
Dengan begitu, mobil LCGC terkena PPnBM sebesar 3 persen. Beleid tersebut berlaku 2 tahun sejak diterbitkan sampai pada akhirnya pemerintah merilis PP Nomor 74/2021 tentang perubahan atas PP Nomor 73/2021.
Namun, di aturan yang berlaku 16 Oktober 2021 tersebut tidak terjadi perubahan poin dalam pasal terkait pengenaan PPnBM untuk mobil LCGC. PP Nomor 74/2021 pun tampak belum diimplementasikan sebab pada saat yang bersamaan pemerintah masih memberlakukan perpanjangan insentif PPnBM 100 persen sektor otomotif hingga penghujung 2021.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra