JAKARTA, 3 Oktober 2024 – Dolar makin ganas, rupiah kembali melemah dampak serangan rudal Iran ke Israel.
Pada awal Oktober 2024 rupiah berada di tengah ketidakpastian global.
Diketahui, pasca serangan rudal Iran tersebut, rupiah ditutup melemah di angka Rp15.260/US$. Angkanya sempat melemah 0,43%.
Dengan demikian, indeks dolar AS (DXY) justru menguat ke titik 1001.258 dengan penguatan sebesar 0,06%.
Dolar Makin Ganas, Rupiah Tertekan
Setelah kemarin mendapat dua tamparan dari deflasi dan manufaktur terkontraksi, pergerakan rupiah mengalami tekanan dan tantangan eksternal dari aksi balas dendam Iran ke Israel.
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) IHK RI secara bulanan (month-to-month/mtm) kembali mengalami deflasi sebesar 0,12%.
Dengan demikian, maka rupiah sudah mengalami deflasi bulanan selama lima bulan beruntun.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), IHK RI pada bulan lalu masih mengalami inflasi sebesar 1,84%.
Tetapi, inflasi tahunan RI pada bulan lalu mengalami penurunan dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 2,12%.
Catatan Terburuk Pemerintahan Jokowi
Dampak melemahnya rupiah menjadi catatan terburuk dalam pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).
Diketahui, Indonesia sudah mencatat deflasi selama empat bulan beruntun yakni dari Mei hingga September 2024.
Bahkan, sektor manufaktur Indonesia kembali lesu pada bulan lalu.
S&P Global melaporkan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada bulan lalu kembali terkontraksi ke 49,2.
Dengan demikian, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi selama tiga bulan beruntun yakni pada Juli (49,3), Agustus (48,9) dan September (49,2).
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
PMI yang tercatat 49,2 pada September 2024 memang lebih besar dibandingkan pada Agustus. Namun, kondisi tersebut tidak melepaskan fakta jika kondisi manufaktur RI kini sangat buruk.
S&P Global menjelaskan kenaikan PMI ditopang oleh meningkatnya pesanan baru. Pesanan naik didukung oleh perbaikan kondisi permintaan dan ekspansi basis pelanggan.
Kendati demikian, pertumbuhan pesanan menjadi yang paling lambat selama periode enam bulan terakhir, terutama, permintaan asing. Permintaan baru untuk ekspor baru melandai selama dua bulan berturut-turut di tengah laporan upaya mengurangi stok di beberapa klien.
Perlu Antisipasi
Rupiah mengalami pergerakan terlihat tampak beralih arah tren melemah.
Hal itu terlihat dari sideways yang ditandai break out dari garis rata-rata selama 100 jam atau Moving Average/MA 100.
Dengan demikian membuat resistance baru mengalami kenaikan menjadi ke Rp15.225/US$ yang didapatkan dari garis rata-rata selama 200 jam atau MA200.
Posisi ini perlu diantisipasi sebagai area pelemahan terdekat.
Untuk itu, diperlukan support terdekat atau potensi penguatan lanjutan yang patut dicermati.
Angkanya berada di Rp15.180/US$ bertepatan dengan breakout dan bertepatan garis MA20-nya.
Sebelumnya Rupiah Jadi Valuta Asia Terkuat
Diketahui, sebelumnya, Rupiah telah menunjukkan keperkasaannya dengan menempatkan posisi sebagai valuta Asia terkuat urutan ketiga.
Capaian tersebut merupakan hasil kinerja selama September sehingga mampu berada di belakang ringgit Malaysia dan baht Thailand.
Penguatan rupiah selama September mencapai 2% dibanding level penutupan Agustus, kinerja bulanan terbaik dalam hampir setahun terakhir.
Dengan demikian, maka nilai rupiah sudah mencetak penguatan 1,7%.
Keperkasaan rupiah sepanjang tahun ini berada diperingkat keempat terbesar di Asia, setelah dolar Singapura (2,7%), baht (6,1%) dan ringgit (11,4%).
Sedangkan selama September saja, rupiah menjadi yang ketiga terbaik di Asia, di belakang ringgit yang menguat 4,7% dan baht 5,2%.
Namun, setelah adanya serangan Iran tersebut membuat pergerakan rupiah melemah.
Bahkan, nyaris anjlok hingga menembus angka Rp15.260/US$.