JAKARTA, duniafintech.com – Fenomena Ghozali Everyday memicu peningkatan popularitas non-fungible token (NFT) di kalangan masyarakat.
Setelah mahasiswa tersebut sukses menjual foto selfienya di platform OpenSea hingga miliaran rupiah, kini bermunculan NFT serupa dengan foto diri sembari memegang KTP elektronik (e-KTP).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, ramainya belakang ini orang yang menjual foto selfienya sambil memegang e-KTP hanya euforia yang ditimbulkan dari fenomena Ghozali Everyday.
Pasalnya, orang ingin mendapatkan keuntungan yang serupa dengan yang dialami oleh Ghozali dengan cara instan atau takut ketinggalan tren atau Fear of Missing Out (FOMO), sehingga orang secara serampangan menjual data diri tanpa tahu risikonya.
“Investor perlu memahami risiko volatilitas dari aset NFT sehingga tidak terjebak pada FOMO (Fear of Missing Out) yang merugikan dalam jangka pendek,” katanya kepada Duniafintech.com, Senin (17/1).
Lebih lagi, menurutnya tren NFT saat ini menimbulkan dampak bubble ekonomi atau produk yang dijual melebihi dari nilai fundamentalnya. Terlebih jika barang atau aset NFT yang dijual tidak memiliki nilai seni atau suatu keunikan apapun.
Sehingga, bisa saja aset yang dijual secara digital tersebut suatu saat tergerus karena nilainya tiba-tiba anjlok atau merosot secara tajam sebagai dampak dari volatilitas dan spekulasi yang tinggi, dan merugikan masyarakat.
“Valuasi karya yang dipasang di platform NFT memang menghasilkan kenaikan nilai yang fantastis. Tapi euforia ini bukankah pertanda Bubble atau gelembung ekonomi? Bahkan gambar yang sebenarnya tidak memiliki keunikan atau nilai seni valuasi nya sampai triliunan rupiah, itu tidak rasional,” ujarnya.
Bhima memaparkan, valuasi NFT di platform OpenSea memang meningkat secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Bahkan, teknologi baru ini mengalami kenaikan valuasi hingga US$ 1,9 miliar di platform OpenSea.
Namun, hingga saat ini belum ada regulasi yang mengatur perdagangan aset ini di Indonesia, mulai dari perlindungan hak kekayaan intelektual, soal perpajakan, hingga perlindungan data diri creator maupun investor.
Sehingga penggunaannya rawan dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk kejahatan seperti pencucian uang antar negara-negara.
“Selain itu data diri yang di posting ke platform NFT rentan disalahgunakan untuk tindak kejahatan, misalnya foto selfie dengan KTP dijadikan jaminan pinjaman online (pinjol) ilegal,” ucapnya.
Untuk itu, sambungnya, perlu edukasi dan literasi mengenai apa itu blockchain maupun NFT bai masyarakat. Pasalnya, pengetahuan mengenai teknologi ini masih masih rendah di tengah masyarakat.
“Sehingga euforia ini hanya digunakan oleh masyarakat untuk berharap keuntungan jangka pendek (tanpa tahu risikonya),” tuturnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra