JAKARTA, duniafintech.com – Platform infrastruktur digital Finantier terus mengembangkan layanannya agar dapat dimanfaatkan oleh industri keuangan, mulai dari bank hingga financial technology (fintech), melalui konsep Open Finance.
Co Founder dan COO Finantier, Edwin Kusuma menjelaskan, skema open finance merupakan konsep yang dibawanya ke Indonesia untuk meningkatkan inklusi keuangan masyarakat yang belum tersentuh pembiayaan konvensional atau underbanked.
Pasalnya, saat ini di Indonesia kelompok masyarakat yang dapat mengakses layanan keuangan konvensional hanya sebesar 30%-40% dari total penduduk, artinya masyarakat yang belum dapat mengakses layanan keuangan masih tinggi.
“Jadi apa sih open finance itu? Lebih ke interoperability dari bank dengan fintech ekosistem agar bisa menghadirkan layanan yang lebih aman dan baik buat masyarakat luas,” katanya saat berbincang dengan Duniafintech.com, Jumat (31/12).
Secara spesifik dia menjelaskan, layanan open finance Finantier ini bersifat business to business (B2B), yaitu memfasilitasi perusahaan agar dapat memanfaatkan datanya untuk rencana lanjutan yang dapat dieksekusi secara langsung dalam pengembangan produk atau inovasi lainnya ke end user.
Sehingga, target strategis Finantier merupakan perusahaan atau company seperti bank dan fintech yang ingin mengoptimalkan datanya untuk menjangkau lebih banyak pengguna yang selama ini tidak memiliki catatan transaksi atau credit scoring.
Simpelnya, semua platform dan aplikasi butuh proses onboarding, ketika ada user baru yang mungkin dari segi catatan transaksi atau pembayaran seperti di pinjol kurang layak, sehingga tidak dapat mengakses pembiayaan.
Sebab, selama ini yang menjadi acuan dalam melihat kelayakan calon peminjam atau borrower hanya berdasarkan catatan transaksi, padahal itu hanya salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menilai kelayakan.
“Kita bisa memberikan insert di luar itu karena kita terkoneksi dengan berbagai macam tadi, untuk bisa leverage digital journey dari potensial user itu untuk kita jadikan data yang akan di-leverage untuk proses onboarding apakah nanti bentuknya Your Customer (KYC) atau credit scoring,” ujarnya.
Menurut Edwin, pihaknya tidak hanya mengolah credit scoring peminjam berdasarkan transaksi dari satu platform saja atau satu industri saja, namun menggabungkan analisis lintas platform mulai dari bank, fintech, layanan ride hailing, e-commerce, dan e-wallet.
“Yang belum punya sejarah pembayaran sebelumnya dan segmen C atau D itu kan enggak terekam di credit scoring. Kita bisa jadikan itu scoring dengan kerja sama dengan point of sale (POS) company dan perusahaan yang bisa capture data itu. Jadi data yang kita provide juga lebih komprehensif,” kata dia.
Karena itu, dalam operasionalnya yang telah berjalan selama satu tahun ini, Finantier menghadirkan tiga produk unggulan yaitu account aggregation, innovative credit scoring, dan payment initiation.
“Ini produk yang kita berikan ke platform, agar bisa beri service yang lebih baik ke customer,” ucapnya.
Saat ini produk Finantier yang tengah berjalan adalah account aggregation dan nnovative credit scoring. Innovative credit scoring mereka pun telah terdaftar ke dalam Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sementara itu, untuk produk payment initiation barunakan berjalan di tahun 2022 ini. Kalau produk sudah ada client yang live, mungkin awal tahun kita akan lakukan big announcement dengan one of the biggest fintech di Indonesia. Ini kerjasama strategis juga,” tuturnya.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra