JAKARTA, duniafintech.com – Industri minyak sawit global merupakan bagian integral dari ekonomi global sekaligus berperan penting dalam perekonomian nasional.
Untuk itu, Indonesia yang merupakan negara sebagai negara industri minyak sawit eksportir Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia, selama ini terlibat aktif mendorong inisiatif global untuk menguatkan rantai pasok minyak nabati yang berkelanjutan.
Terkait industri minyak sawit, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa saat ini, luas areal yang telah tersertifikasi ISPO mencapai 3,6 juta hektar.
Baca juga: Masih Menunggu Aturan DMO-DPO, Harga Kelapa Sawit Belum Terdongkrak Naik
Selain ISPO, juga terdapat Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024, yang akan menjadi peta jalan bagi Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, yang bertujuan untuk menyeimbangkan pembangunan sosial ekonomi dan pelestarian lingkungan.
“Kelapa sawit berkontribusi dalam menopang pemulihan ekonomi. Tidak hanya pada aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial dan lingkungan masyarakat dengan regulasi yang diterapkan secara efektif,” ujar Airlangga.
Masih seputar industri minyak sawit, Airlangga mengatakan peluang untuk meningkatkan dan memperluas substitusi bahan bakar fosil dan petrokimia di kawasan ASEAN sangat potensial, mengingat keberadaan CPOPC (CPO Producer Countries) yang terdiri dari Indonesia dan Malaysia.
Baca juga: Subsidi Minyak Goreng Curah Dicabut, Pengusaha Kelapa Sawit Merespon Begini
Industri Minyak Sawit Memiliki Potensi Besar
Indonesia mampu memproduksi 40% dari total minyak nabati dunia, dan komoditas kelapa sawit sendiri jauh lebih unggul dibandingkan komoditas pesaing minyak nabati lainnya karena memiliki produktivitas lebih tinggi dengan menggunakan lahan yang lebih sedikit.
Airlangga menjelaskan ditengah tantangan global, Pemerintah memandang tantangan tersebut sebagai peluang. Pada sektor energi, untuk menjaga daya beli masyarakat, Pemerintah berupaya menjaga ketersediaan energi tetap ada dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat.
Di sektor pangan, Pemerintah mendorong petani gurem untuk menanam jagung, kedelai, dan sorgum sebagai tumpangsari selama 3 (tiga) tahun program replanting kelapa sawit untuk menjaga cashflow.
“Pemerintah juga memprioritaskan ketahanan pangan dengan pengembangan food estate dalam bentuk koperasi untuk memberikan akses bantuan, pembiayaan, dan fasilitas lain yang diberikan oleh Pemerintah bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara dan sektor swasta,” ujar Airlangga.
Dia mengungkapkan berbeda dengan negara-negara lain pada 2022–2023, negara-negara ASEAN-5 diproyeksikan tidak akan mengalami resesi tetapi menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (booming) disertai dengan tingkat inflasi yang relatif moderat.
Kondisi tersebut memungkinkan peningkatan konsumsi minyak sawit di kawasan ini baik untuk oleofood maupun melalui ekspansi domestik dan untuk substitusi bahan bakar fosil maupun petrokimia yang semakin mahal secara global. Kenaikan harga minyak mentah pada 2022-2024 menyebabkan produk turunan seperti petrokimia menjadi lebih mahal.
“Oleh karena itu, upaya substitusi bahan bakar fosil dengan biodiesel sawit, green fuel lainnya, dan petrokimia dengan oleokimia berbasis sawit merupakan strategi yang akan membuat industri sawit lebih layak di tengah krisis. Hingga tahun 2022, Indonesia masih menerapkan B30. Saat ini, Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel lebih rendah daripada HIP Solar,” kata Airlangga.
Kemudian, untuk mengatasi kenaikan harga minyak goreng yang dipicu oleh kenaikan biaya produksi, Menko Airlangga mengatakan bahwa strategi yang dapat diterapkan yakni dengan mengganti sebagian minyak goreng dengan minyak goreng merah.
Indonesia memiliki prevalensi stunting yang tinggi dengan 7,4 juta anak di bawah 5 tahun (30%) mengalami stunting. Minyak Goreng Merah dapat menjadi solusi pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri sebagai jenis minyak nabati baru berbasis pengolahan alami yang lebih bergizi sekaligus mengembangkan usaha kelapa sawit rakyat skala menengah.
“Indonesia juga membutuhkan bisnis untuk merangkul triple bottom line yakni sosial, lingkungan, dan keuangan, termasuk melalui sektor perkebunan khususnya kelapa sawit. Mari para stakeholder bekerja sama dan berkomitmen untuk mencapai tujuan tersebut dan tangguh dalam melalui krisis global ini,” kata Airlangga.
Baca juga: Pemerintah Perpanjang Insentif Ekspor Sawit Hingga November 2022
Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com