JAKARTA – 25 September 2024 – Industri perbankan RI raup laba bersih sebesar Rp149,62 triliun hingga Juli 2024, mengalami kenaikan 6,03% secara tahunan (yoy) dari Rp141,11 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Data dari Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa pendapatan bunga bersih (Net Interest Income/NII) mengalami peningkatan moderat sebesar 2,71% yoy menjadi Rp314,79 triliun per Juli 2024.
Sementara itu, margin bunga bersih atau Net Interest Margin (NIM) naik tipis menjadi 4,59% dari 4,57%.
Trioksa Siahaan, Kepala Riset LPPI, memperkirakan bahwa laba pada paruh kedua tahun 2024 akan menunjukkan peningkatan dibandingkan semester pertama seiring tren penurunan suku bunga. Namun, ia juga mengingatkan agar mewaspadai ketidakstabilan geopolitik global yang bisa memicu kenaikan harga minyak dan inflasi, yang berpotensi mendorong kenaikan suku bunga lagi.
Trioksa menjelaskan bahwa pertumbuhan laba kemungkinan akan bervariasi di setiap kelompok bank, tetapi secara keseluruhan diperkirakan hanya mencapai satu digit. Salah satu penyebabnya adalah tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) yang sempat mencapai 6,25%, yang mempengaruhi biaya dana (cost of fund/CoF) dan memberikan tekanan pada bank.
“Meski BI Rate sudah turun menjadi 6%, penyesuaian bunga tetap membutuhkan waktu,” katanya.
Jika dilihat dari segi kepemilikan, bank BUMN atau bank milik negara mencatat laba sebesar Rp74,84 triliun, naik 3,34% yoy dari Rp72,42 triliun pada Juli 2023. Secara bulanan, laba tersebut meningkat sebesar Rp23,09 triliun dibandingkan dengan Juni 2024, menjadikan kelompok bank BUMN sebagai yang terbesar dalam perolehan laba dibandingkan kelompok bank lainnya.
Indikator Perbankan RI Raup Laba?
Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, sebelumnya mengatakan bahwa penurunan suku bunga acuan dapat melonggarkan likuiditas perbankan dan memacu kembali pertumbuhan kredit. Ia berharap penurunan suku bunga ini akan memperbaiki kondisi likuiditas bank, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan kredit dan laba tahunan meskipun diprediksi tumbuh dengan angka satu digit.
Sementara itu, Bank Pembangunan Daerah (BPD) mencatat laba sebesar Rp7,81 triliun per Juli 2024. Meski secara bulanan meningkat sebesar Rp1 triliun, namun secara tahunan laba ini turun 4,07% yoy dari Rp8,15 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Wakil Ketua Umum II Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), Busrul Iman, menjelaskan bahwa beberapa faktor seperti tingginya biaya dana dan pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) mempengaruhi penurunan laba tersebut.
Kelompok Bank Swasta Nasional mencatatkan laba sebesar Rp58,57 triliun, meningkat Rp4,79 triliun secara bulanan, dan secara tahunan naik 8,9% yoy dari Rp53,78 triliun pada Juli 2023. Kantor Cabang Bank Luar Negeri (KCBLN) juga mencatatkan peningkatan laba signifikan sebesar Rp8,4 triliun pada Juli 2024, naik dari Rp7,27 triliun pada Juni 2024, serta tumbuh 24,13% yoy dibandingkan Rp6,76 triliun pada Juli 2023.
Harapan Pertumbuhan Laba
Bank optimis menghadapi semester kedua tahun 2024. Novita Widya Anggraini, Direktur Keuangan BNI, menyatakan bahwa pihaknya melihat potensi pertumbuhan yang lebih baik di semester II/2024 dibandingkan dengan semester I/2024. BNI bahkan meningkatkan target pertumbuhan kredit dari 9%–11% yoy menjadi 10%–12% yoy, dengan realisasi kredit BNI per semester I/2024 tumbuh 11,7% yoy.
Sunarso, Direktur Utama BRI, juga menyatakan bahwa penurunan suku bunga acuan akan berdampak positif pada BRI, terutama karena neraca keuangannya sangat sensitif terhadap perubahan pada bunga dana. Dengan penurunan BI Rate, likuiditas perbankan diharapkan akan membaik, yang pada akhirnya mendukung segmen mikro dan ultra mikro. Hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan uang beredar, daya beli masyarakat, dan konsumsi rumah tangga, yang akan meningkatkan permintaan pinjaman di segmen tersebut.
Kunardy Lie, Managing Director Country Head of Institutional Banking Group DBS Indonesia, juga mengatakan bahwa tantangan utama yang dihadapi DBS Indonesia adalah tingginya suku bunga, yang mengakibatkan penyusutan laba sebesar 4,85% yoy menjadi Rp844,95 miliar pada semester I/2024. Dia menekankan pentingnya diversifikasi bisnis dan peningkatan penjualan lintas produk untuk menambah pendapatan, di luar pinjaman konvensional.