DuniaFintech.com – Undang-undang Cipta Lapangan Kerja menjadi perhatian khusus publik di tengah pandemi COVID-19. Disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) rancangan undang-undang tersebut menuai kontradiksi di ranah publik.
Tidak hanya itu, narasi besar tentang revolusi industri 4.0 yang mengedepankan pemanfaatan teknologi seperti Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR) hingga Machine Learning dirasa bertolak belakang dari lahirnya UU Cipta Lapangan Kerja.
Sebagaimana yang dihadirkan dalam revolusi industri 4.0, semangat untuk mengandalkan teknologi sebagai pendamping manusia seolah-olah musnah. Hadirnya robotisasi melalui teknologi untuk memudahkan pekerjaan manusia tidak memiliki titik temu.
Tujuan pemanfaatan teknologi sebagai pengganti tenaga manusia adalah untuk meringankan dan memanusiakan para pekerja. Salah satu contoh, pemanfaatan robot dan automasi dalam industri manufaktur membuat alur produksi lebih efisien serta memerlukan biaya perawatan yang murah, sehingga manusia hanya ditugaskan untuk melakukan pengawasan berkala (quality control).
Lembur dan jam waktu kerja menjadi salah satu poin yang bertolak belakang dari UU Cipta Lapangan Kerja dengan gaung revolusi industri 4.0. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, automasi dan robotisasi yang ditawarkan dalam teknologi menjadi sia-sia dan tidak substansial. Pasalnya, pemanfaatan teknologi menjadi salah satu cara untuk manusia untuk tidak bekerja secara berlebihan. Di dalam rancangan undang-undang tersebut, waktu kerja lembur ditambah menjadi maksimal 4 jam sehari dan 18 jam dalam pekan kerja.
Baca juga:
- Turut Meningkatkan Iklusi Keuangan, LinkAja Berpartisipasi dalam BIK OJK 2020
- Seolah Tak Mau Kalah, Deretan Bank Ini Keluarkan Produk Pinjaman Online
- OVO Perluas Layanan dengan Jangkau Pasar Tradisional
UU Cipta Lapangan Kerja untuk Revolusi Industri 4.0
Undang-undang yang memiliki nama lain Omnibus Law ini juga merevisi UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga-kerjaaan. Revisi tersebut berisikan waktu kerja yang mencapai 6 hari dalam sepekan. Milyarder Tiongkok, Jack Ma mengatakan bahwa di masa depan manusia cukup bekerja 4 jam dalam sehari. Hal tersebut menjadi sia-sia karena kemudahan teknologi tidak dirasakan oleh publik.
Gaji/upah perbulan ditiadakan menjadi polemik yang tentunya bertolak belakang dengan semangat revolusi industri 4.0. Jika melirik beberapa tahun ke belakang, berbagai penyelenggara teknologi untuk komputasi pengaturan karyawan dan tenaga kerja (human resource cloud) hadir untuk memudahkan alur perusahaan.
Dengan dirubahnya peraturan gaji perbulan menjadi harian, membuat setiap penyelenggara harus mengatur ulang semua rancangan dan desain dari teknologi yang mereka tawarkan. Prinsip teknologi yang memudahkan berubah menyulitkan karena berbagai perubahan sistem.
Ekosistem yang terdampak atas perubahan sistem gaji ialah pelaku jasa keuangan untuk urusan kredit/pembiayaan. Beberapa penyelenggara harus mengatur ulang waktu kolektivitas kredit, hingga berpotensi sewenang-wenang dalam melakukan penagihan.
Selain itu, penyelenggara niaga elektronik (e-commerce) akan mengalami kesulitan dalam melakukan pemasaran. Salah satu contohnya ialah kampanye Waktu Indonesia Belanja di Tokopedia yang menargetkan pemasaran disaat hari-hari menuju penerimaan upah.
DuniaFintech/Fauzan