Site icon Dunia Fintech

Kelas Menengah Terjepit, Indeks Keyakinan Konsumen Anjlok 2,4%

Penurunan Kelas Menengah di Indonesia dan Dampaknya pada Ekonomi Nasional

Penurunan Kelas Menengah di Indonesia dan Dampaknya pada Ekonomi Nasional

JAKARTA, 12 November 2024 – Survei konsumen Bank Indonesia (BI) pada Oktober 2024 mengungkapkan penurunan signifikan dalam Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), terutama pada kelompok kelas menengah. Berdasarkan hasil survei, IKK berada pada level 121,1, turun 2,4 poin dari 123,5 pada bulan September.

Penurunan ini menjadikan level IKK Oktober 2024 sebagai yang terendah dalam dua tahun terakhir.

Jika dianalisis lebih dalam, penurunan keyakinan terbesar terjadi pada kelas menengah, khususnya bagi masyarakat dengan pengeluaran bulanan Rp 3,1-4 juta, yang mengalami penurunan IKK sebesar 5,7 poin.

Kelompok dengan pengeluaran Rp 4,1-5 juta juga mengalami penurunan sebesar 1,9 poin, sedangkan kelompok dengan pengeluaran Rp 2,1-3 juta turun 1,2 poin. Sementara itu, kelompok atas dengan pengeluaran di atas Rp 5 juta mengalami sedikit penurunan IKK sebesar 0,7 poin. Menariknya, hanya kelompok dengan pengeluaran Rp 1-2 juta yang mengalami peningkatan IKK sebesar 1,6 poin.

M Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), menyebut bahwa penurunan keyakinan ini mencerminkan pelemahan konsumsi rumah tangga di kalangan kelas menengah.

Kelas Menengah Semakin Berkurang

Faisal mengaitkan penurunan daya beli ini dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan semakin terkikisnya populasi kelas menengah di Indonesia.

“Kami melihat distribusi pelemahan paling parah terjadi di kelas menengah,” kata Faisal.

Ia menambahkan bahwa kelompok kelas atas juga mengalami pelemahan keyakinan, meski dampaknya belum separah kelas menengah yang berada di kisaran pengeluaran Rp 2-4 juta.

Menurut Faisal, tekanan terhadap kelas menengah disebabkan oleh meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok, sehingga mereka lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi. Ia mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan agar kelas menengah tidak semakin pesimis.

“Kondisi kelas menengah masih dalam tekanan besar. Apabila kebijakan yang diambil justru memperburuk keadaan, dampaknya bisa semakin parah,” jelas Faisal.

Pandangan senada juga disampaikan oleh ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin. Ia menyebutkan bahwa melemahnya keyakinan konsumen ini juga disebabkan oleh ketidakpastian terkait pendapatan masa depan, terutama akibat maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.

Wijayanto menambahkan bahwa keyakinan konsumen dipengaruhi oleh kepastian pendapatan mereka di masa mendatang.

“Maraknya PHK dan kenaikan biaya hidup membuat masyarakat merasa tidak aman,” ujar Wijayanto.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa inflasi tahunan mencapai 2,67% pada Oktober 2024, sementara harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan bahan bakar telah mengalami kenaikan tajam sepanjang tahun ini. Hal ini memberikan tekanan tambahan pada kelas menengah yang memiliki keterbatasan daya beli.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, turut memberikan analisis terkait tren penurunan IKK ini. Ia menjelaskan bahwa tren ini sejalan dengan kondisi deflasi yang terjadi lima bulan berturut-turut dari Mei hingga September 2024, yang mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat, khususnya pada kelas menengah.

“Deflasi beruntun ini menjadi indikasi kuat bahwa daya beli masyarakat, terutama di kelas menengah, sedang menurun,” kata Telisa.

Badai PHK

Telisa juga menyoroti bahwa peningkatan PHK di sektor manufaktur, khususnya setelah perusahaan tekstil besar dinyatakan pailit, menambah tekanan terhadap kepercayaan konsumen. Berita mengenai potensi PHK terhadap puluhan ribu karyawan di perusahaan tersebut membuat konsumen semakin pesimis terhadap prospek ekonomi.

“Kabar tentang PHK masif dari perusahaan besar menjadi salah satu faktor yang menurunkan keyakinan masyarakat,” tambahnya.

Dalam kondisi yang normal, pelemahan IKK yang signifikan seperti ini umumnya hanya terjadi pada masa krisis, seperti pada awal pandemi COVID-19. Data BI menunjukkan bahwa selama tahun 2020-2022, level IKK sering kali berada di bawah 120, mencerminkan ketidakpastian yang tinggi di tengah pandemi.

Namun, dengan kondisi perekonomian yang lebih stabil saat ini, tren penurunan IKK menjadi indikasi bahwa ada tekanan struktural dalam ekonomi yang memengaruhi daya beli dan kepercayaan masyarakat.

Ekonom berpendapat bahwa pemerintah perlu segera merespons pelemahan IKK ini dengan kebijakan yang proaktif untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Program bantuan langsung, stabilisasi harga kebutuhan pokok, serta kebijakan yang mendorong penciptaan lapangan kerja perlu menjadi prioritas.

Di sisi lain, Bank Indonesia juga diharapkan terus menjaga stabilitas inflasi dan mendorong sektor-sektor yang memiliki multiplier effect tinggi terhadap perekonomian, seperti sektor konsumsi dan manufaktur.

Secara keseluruhan, penurunan IKK ini menunjukkan bahwa tantangan ekonomi Indonesia masih belum selesai. Kepercayaan konsumen yang merosot dapat memengaruhi laju konsumsi rumah tangga, yang merupakan kontributor utama dalam pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah dan Bank Indonesia perlu bersinergi dalam menjaga stabilitas ekonomi dan memastikan bahwa masyarakat, terutama kelas menengah yang menjadi motor utama perekonomian, tetap memiliki keyakinan terhadap kondisi ekonomi di masa depan.

Exit mobile version