Site icon Dunia Fintech

Kinerja Rupiah Berhasil Berada di Posisi Ketiga Valuta Asia Terkuat

Kinerja Rupiah Berhasil Berada di Posisi Ketiga Valuta Asia Terkuat

Kinerja Rupiah Berhasil Berada di Posisi Ketiga Valuta Asia Terkuat

JAKARTA, 2 Oktober 2024 – Rupiah kembali menunjukkan keperkasaannya dengan menempatkan posisi sebagai valuta Asia terkuat urutan ketiga.

Capaian tersebut merupakan hasil kinerja selama September sehingga mampu berada di belakang ringgit Malaysia dan baht Thailand.

Penguatan rupiah selama September mencapai 2% dibanding level penutupan Agustus, kinerja bulanan terbaik dalam hampir setahun terakhir.

Dengan demikian, maka nilai rupiah sudah mencetak penguatan 1,7%.

Keperkasaan rupiah sepanjang tahun ini berada diperingkat keempat terbesar di Asia, setelah dolar Singapura (2,7%), baht (6,1%) dan ringgit (11,4%).

Sedangkan selama September saja, rupiah menjadi yang ketiga terbaik di Asia, di belakang ringgit yang menguat 4,7% dan baht 5,2%.

Kinerja Rupiah Cemerlang 

Saat ini kinerja rupiah tengah cemerlang dengan melanjutkan capaian positif yang sudah dimulai sejak Juli lalu.

Saat itu rupiah membukukan penguatan bulanan 0,7%, berlanjut pada Agustus yang mencapai 5,2% dan September 2%.

Penyebab rupiah mampu menguat disebabkan karena selama kuartal III hingga detik ini adalah terutama karena dimulainya siklus penurunan bunga acuan global yang sudah ditunggu-tunggu sekian lama.

Dampak Keputusan Federal Reserve

Pemangkasan bunga di angka jumbo, 50 bps yang dilakukan Federal Reserve, bank sentral AS memberikan pengaruh besar pada rupiah.

Diketahui, pada 18 September lalu, membuka pintu bagi berbaliknya dana asing yang sempat tersedot ke pasar AS balik ke emerging market, termasuk Indonesia.

Berdasarkan data Bank Indonesia, selama kuartal III sampai data 13 September lalu, disebutkan nilai aliran modal asing yang masuk ke pasar keuangan domestik mencapai US$10,1 miliar atau sekitar Rp154,98 triliun.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari asing yang turut membanjiri saham Indonesia telah berulang memperbarui rekor tertinggi.

Teerakhir pada 19 September di level 7.905,39. Begitu juga harga obligasi negara yang berlari kencang pasca BI mendahului The Fed memangkas bunga acuan.

Yield SBN tenor 10Y yang sempat menyentuh 7,21% pada akhir April, level tertinggi Oktober 2023, pada 20 September lalu merosot ke posisi terendah di 6,42%.

Begitu juga yield SBN tenor 2Y yang pernah menyentuh level tertinggi di 7,16% pada April, kini sudah melandai 6,11%.

Animo Asing Tinggi

September lalu, saat animo asing tengah tinggi menjadikan berhasil mencatatkan rekor baru dalam nilai belanja.

Pada 13 September, asing mendahului belanja besar-besaran di pasar saham sebelum ‘gong’ penurunan bunga The Fed ditabuh dengan nilai pembelian sehari mencapai Rp17,95 triliun. Nilai terbesar sejak April 2022.

Sementara di pasar surat utang, asing mencetak nilai belanja terbesar sehari pada 19 September lalu senilai US$629,84 juta atau setara Rp9,56 triliun.

Angka tersebut merupakan angka tertinggi sejak Juli 2019 menurut data Bloomberg yang diikuti pada Rabu (2/10/2024).

Bila menghitung selama September saja (month-to-date), nilai capital inflows ke pasar keuangan RI mencapai US$1,41 miliar.

Angka tersebut menjadi yang terbesar urutan kedua di Asia setelah inflows ke pasar India yang mencapai US$6,71 miliar.

Kemudian, selama kuartal III-2024, aliran modal asing masuk ke Indonesia tercatat sebesar US$3,67 miliar quarter-to-date hingga 30 September.

Total dana tersebut menjadikan RI sebagai negara dengan aliran modal global terbesar di Asia peringkat ketiga setelah India US$11,45 miliar dan Korea Selatan US$10,56 miliar pada periode yang sama.

Akan tetapi, memasuki kuartal akhir tahun ini, banjir modal asing ke pasar domestik mungkin akan cenderung terjegal faktor China. Gejala itu sudah terlihat pada pekan terakhir September.

Diketahui, asing membukukan nilai jual bersih senilai US$204,6 juta pada pekan terakhir bulan lalu sampai data 30 September (week-to-date).

Akibatnya, IHSG saat itu sempat ambles menyentuh level 7.500 lagi dan nilai rupiah tak mampu menembus penguatan di bawah Rp15.000/US$.

Rupiah Hadapi Krisis

Rupiah menghadapi risiko tekanan bila berbaliknya dana dari pasar portfolio domestik ke pasar China, berlanjut pada Oktober ini. Para pemodal global terindikasi mulai merotasi penempatan investasi, dari semula banyak menyerbu pasar ASEAN karena kelesuan China yang berlanjut, kini berbalik tersedot ke daratan Tiongkok pasca pengumuman paket stimulus besar-besaran pekan lalu.

Otoritas moneter China, People Bank of China (PBoC) mengumumkan berbagai paket stimulus termasuk guyuran likuiditas segar, pemberian fasilitas swap untuk memantik peningkatan transaksi di saham, hingga penurunan bunga acuan dan bunga pinjaman konsumsi. Kesemuanya untuk mendongkrak perekonomian yang telah terbekap lesu bahkan ketika pandemi Covid-19 telah lama mereda.

Kebijakan otoritas Tiongkok itu dipastikan akan memaksa para investor global memikirkan kembali alokasi dana ke China, menurut Manajer Investasi Allianz Global Investors di Hong Kong Kevin You, dilansir dari Bloomberg.

“Isu kunci ada pada perbaikan prospek laba perusahaan. Kami berharap itu akan terjadi seiring waktu terutama ketika tekanan di sektor properti China mulai mereda,” kata You.

Berlayarnya dana global ke China terlihat jelas kemarin ketika IHSG ditutup anjlok 2,2%, pada saat yang sama indeks saham China melompat naik sampai lebih dari 10%.

Namun, ada sedikit harapan bahwa tersedotnya dana global ke China itu tidak sepenuhnya akan ‘mengeringkan’ duit asing di pasar domestik. Indonesia bagaimanapun adalah mitra dagang utama China.

Artinya, ketika perekonomian China mampu bangkit karena dukungan stimulus, pada akhirnya dampak positif juga bisa diharapkan muncul dinikmati Indonesia.

Sektor Komoditas Diprediksi Kembali Terangkat

Prediksi pada sektor komoditas diperkirakan bakal kembali terangkat.

Hal itu akan terjadi apabila permintaan dari Tiongkok kembali bangkit.

Namun, hal itu sepertinya akan memakan waktu lebih lama karena perlu dipastikan lebih dulu apakah stimulus yang digelontorkan mampu menolong ekonomi China yang lesu.

Dalam jangka pendek, sepertinya faktor China akan cenderung menekan terutama di pasar ekuitas. Sedangkan di pasar surat utang, sentimen dari arah bunga The Fed ke depan akan mendominasi.

Yang terjadi terakhir, pernyataan hawkish Jerome Powell, bos The Fed, tadi malam, telah membuat yield Treasury kembali naik dan menekan pula harga obligasi domestik.

Jika ditinjau dari segi lanskap akan sedikit kesulitan.

Sebab rupiah bisa bergegas menguat ke bawah level Rp15.000/US$ dalam waktu dekat.

Rupiah kemungkinan bisa bertahan stabil di antara Rp15.100-Rp15.300/US$ di tengah volatilitas yang mungkin akan meningkat karena gabungan berbagai faktor eksternal.

Sedangkan dari domestik, inflasi yang makin rendah mungkin akan membuka pintu penurunan BI rate lebih lebar dengan catatan arus modal asing masih stabil masuk.

Exit mobile version