JAKARTA, duniafintech.com – Konsumen digital baru bertambah 21 juta orang sejak pandemi Covid-19 melanda, yang kini sudah memasuki tahun ketiga. Data itu disampaikan oleh Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Hendri Saparini. Menurutnya, 72 persen dari jumlah itu berasal dari daerah non metropolitan.
“Ini menggambarkan semakin luasnya sebaran digitalisasi di Indonesia,” ucapnya, seperti dikutip dari Liputan6.com, Selasa (8/2/2022).
Ia menyatakan, terus tumbuhnya konsumen digital baru ini tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak dua tahun belakangan. Pasalnya, pada masa penyebaran virus Corona jenis baru itu, kebijakan pembatasan sosial berulang kali diterapkan, sementara kebutuhan konsumen tetap mesti dipenuhi.
Hal itulah yang membuat sejumlah perusahaan teknologi, misalnya perusahaan rintisan (startup), terus tumbuh layaknya jamur di musim penghujan. Sebagai contoh adalah edutech, health tech, hingga e-commerce.
“Kami semua tahu tidak hanya hubungan sosial yang makin ramai dengan sosial media. Kegiatan ekonomi, kesehatan secara digital, juga meningkat luar biasa saat Covid-19,” ulasnya.
Maka dari itu, pihaknya berharap pemerintah terus memperluas cakupan pembangunan infrastruktur digital di berbagai wilayah tanah air, menyusul tingginya potensi pasar digital domestik.
“Jadi, tentu perlu disiapkan infrastruktur digital yang baik. Ini untuk menunjang aktivitas bisnis, tapi juga layanan publik yang sudah berkembang,” paparnya.
Baca Juga:
- Sebanyak 66% Konsumen di Asia Tenggara Tertarik dengan Bank Digital
- Penting bagi Pelaku Bisnis, Ini 5 Tren Konsumen di Tahun 2022
Diperluas ke berbagai sektor
Di sisi lain, IFSoc pun meminta penggunaan Know Your Customer elektrik (e-KYC) agar diperluas ke berbagai sektor. Dalam arti, verifikasi digital dapat dimanfaatkan di berbagai sektor.
Menurut Karaniya Dharmasaputra selaku Steering Committee IFSoc, pihaknya mendukung perluasan ini. Adapun e-KYC sendiri adalah pengenalan pelanggan yang melibatkan sistem digital.
Karaniya pun menyebut alasannya, yakni lantaran adanya interaksi di ruang digital yang kian besar yang membutuhkan suatu standar dalam melakukan identifikasi, otentikasi, dan otorisasi pada setiap peserta.
“Kami usulkan perlu ada penguatan lebih lanjut dari pemanfaatan data KTP meski sekarang sudah sangat baik, dalam pertumbuhan e-KYC kami bagi pemanfaatan teknologi finansial di luar data KTP,” ucapnya, kemarin.
Disampaikannya, eksploitasi data semakin marak. Dengan demikian, diperlukan sistem pengelolaan data yang aman. Lalu, perluasan pemanfaatan e-KYC dengan bukan hanya di fintech diperlukan dalam rangka menunjang geliat pertumbuhan ekonomi digital di tanah air.
“Pemanfaatan e-KYC akan memberikan keuntungan bagi institusi pemberi layanan dengan semakin meningkatnya pendaftaran pelanggan, pengurangan biaya 90 persen, serta mengurangi penipuan,” paparnya.
“Kami mengusulkan tak hanya data KTP. Bukan cuma KTP, tapi ada data poin lain, misalnya nomor Kartu Keluarga atau data ibu kandung,” bebernya.
Dengan begitu, kata dia lagi, dengan asumsi adanya jual-beli data KTP yang bocor, verifikator akan punya data poin lain yang dapat digunakan, dengan tujuan memastikan data sesuai dengan pemilik.
Dalam pandangannya, penguatan peran Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, baik dalam kewenangan, kapasitas infrastruktur teknologi, maupun anggaran dalam membangun ekosistem e-KYC, juga perlu ditingkatkan.
“Pengembangan sistem e-KYC sangat diperlukan, seperti penambahan data poin lain atau parameter untuk memperkuat peranan e-KYC serta meminimalisir kerugian akibat eksploitasi data,” tuturnya.
Lebih jauh, IFSoc pun mendorong perluasan ruang diskusi antara pemerintah dan pelaku industri untuk membangun sistem e-KYC dan penggunaan identitas digital yang ideal.
Penulis: Kontributor / Boy Riza Utama
Editor: Anju Mahendra