Di era digital, masalah payment gateway di luar Jawa menjadi tantangan serius meskipun Indonesia semakin cashless. Layanannya mungkin berjalan mulus di Jakarta, Bandung, atau Surabaya, tetapi di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih banyak kendala teknis dan operasional.
1. Ketimpangan Infrastruktur Digital
Salah satu akar dari masalah payment gateway di luar Jawa adalah infrastruktur internet dan listrik yang tidak merata. Data dari Mordor Intelligence menyebut bahwa aktivitas transaksi digital memang mulai tumbuh pesat di luar Jawa, terutama setelah proyek Palapa Ring, namun latensi jaringan masih tinggi dan sering mengganggu proses transaksi real-time (Neraca, Mordor Intelligence).
Mantan Menkominfo Rudiantara menegaskan bahwa tanpa perluasan jaringan internet yang kuat, payment gateway tidak bisa diandalkan di wilayah terpencil (prismalink.co.id).
2. Fragmentasi Ekosistem dan Biaya Teknologi
Masalah payment gateway di luar Jawa juga disebabkan oleh fragmentasi layanan: banyak UMKM tidak terlayani oleh infrastruktur penyedia gateway besar. Biaya setup, MDR, dan kebutuhan perangkat alternatif seperti EDC bertenaga baterai menjadi kendala tersendiri bagi merchant di daerah remote (Mordor Intelligence, prismalink.co.id).
Beberapa provider menawarkan subsidi interchane, tapi terbatas pada wilayah tertentu saja—sementara merchant di luar Jawa sering tidak masuk dalam skema insentif tersebut (reddit.com).
3. Tingkat Literasi Digital yang Rendah di Daerah
Kurangnya pemahaman teknik penggunaan payment gateway juga memperparah masalah payment gateway di luar Jawa. Banyak pedagang di Sulawesi atau Nusa Tenggara belum mahir menggunakan QRIS atau portal e-commerce karena edukasi digital yang minim di daerah tersebut (tdcdigital.id).
Literasi ini penting agar merchant tidak hanya sekadar menerima pembayaran, tetapi juga memahami manfaat integrasi digital seperti laporan transaksi, integrasi inventory, dan manajemen cash flow secara otomatis.
4. Batasan Fitur dan Interoperabilitas Sistem
Beberapa payment gateway lokal menghadapi masalah payment gateway di luar Jawa karena terbatasnya interoperabilitas dengan sistem bank lokal atau e-wallet paling populer. Sehingga meskipun QRIS dibuat universal, dalam praktik implementasi terkadang ada bank tertentu yang tidak kompatibel, menambah risiko kegagalan transaksi di daerah luar Jawa (medium.com, medium.com).
Pakar fintech memperingatkan bahwa tanpa sistem governance data yang kuat, payment gateway di daerah bisa mengalami kegagalan identifikasi dan fraud risk yang lebih tinggi (medium.com, domainesia.com).
5. Studi Kasus: Papua dan Sulawesi
Hubungan internet yang buruk membuat EDC atau QR pernah gagal di Papua saat transaksi e-wallet. Merchant terpaksa mencatat secara manual dan sinkronisasi transaksi dilakukan saat jaringan pulih—ini menjadi bukti nyata masalah payment gateway di luar Jawa (Mordor Intelligence, reddit.com).
Forum Reddit juga menyebut pengalaman di Depok dan Yogyakarta saat mati lampu: perangkat POS mati, sinyal seluler hilang, dan transaksi digital tidak bisa dilakukan sama sekali (reddit.com).
6. Kutipan Pakar
Angelika Putri, Founder & Sekjen APGI, menyampaikan bahwa adopsi payment gateway di luar Jawa meningkat, tetapi tetap terbatas oleh infrastruktur dan keandalan gateway di daerah-daerah tersebut (intimedia.id).
Sementara Pratama Persadha, pakar keamanan siber, menegaskan bahwa merchant di daerah memiliki data transaksi yang lebih rentan dicuri atau disalahgunakan jika sistem payment gateway tidak memiliki proteksi yang memadai (prismalink.co.id).
7. Dampak Ekonomi dan Persaingan Lokal
Akibat masalah payment gateway di luar Jawa, banyak toko dan UMKM di Sulawesi, NTT, Maluku masih bergantung pada transaksi tunai. Potensi pendapatan digital mereka jauh tertinggal ketimbang merchant di Jakarta atau Bandung.
Bank Indonesia juga mencatat bahwa sebagian besar transaksi digital masih terkonsentrasi di Jawa. Penggunaan dompet digital di luar Jawa, meski meningkat, masih di bawah 50 % rata-rata nasional, menunjukkan ketimpangan akses dan adopsi layanan (thejakartapost.com, Neraca).
8. Strategi Mengatasi Permasalahan
Untuk memperbaiki masalah payment gateway di luar Jawa, diperlukan beberapa strategi:
- Perluasan jaringan internet dan listrik yang dapat diandalkan hingga ke daerah terpencil. Pemerintah, BI, dan swasta perlu sinergi memperkuat infrastruktur digital (prismalink.co.id, Mordor Intelligence).
- Subsidi atau insentif biaya MDR dan setup di luar Jawa agar merchant lebih terjangkau dalam memulai layanan digital.
- Pelatihan literasi digital fleksibel, seperti sesi offline, hybrid, atau mobile, agar pedagang lokal tidak ketinggalan.
- Peningkatan interoperability dan integrasi API antara provider payment gateway dengan perbankan lokal dan e-wallet untuk menjangkau merchant daerah.
- Implementasi fallback system: payment gateway dengan mode offline caching atau batched synch untuk menjaga keandalan transaksi saat sinyal buruk.
9. Harapan dan Target ke Depan
Menurut roadmap sistem pembayaran Indonesia 2025 dari Saison Thinking, inklusi digital di luar Jawa akan meningkat jika pemerintah dan provider melakukan kolaborasi teknis dan kebijakan secara serius. Targetnya: akses payment gateway minimal 90 % di kabupaten/kota hingga akhir 2026, termasuk fitur offline approval dan tokenized payment untuk daerah remote (medium.com, bersama.id).
10. Kesimpulan
Masalah payment gateway di luar Jawa adalah tantangan nyata yang terdiri dari berbagai lapisan: infrastruktur, biaya, literasi, dan teknis sistem. Meskipun Indonesia sudah maju di pusat ekonomi, tanpa pemerataan teknologi dan edukasi, digitalisasi transaksi hanya akan memperlebar kesenjangan.
Solusi jangka panjang memerlukan sinergi antarpemerintah, regulator (BI), penyedia gateway, serta komunitas lokal. Tanpa ini, merchant di luar Jawa akan terus tertinggal dalam ekonomi digital yang tengah berkembang pesat.