DuniaFintech.com – Fintech syariah kini tengah berkembang di iklim perekonomian Indonesia. Para pengguna jasa keuangan pun memiliki lebih banyak pilihan untuk memilih produk fintech yang cocok dengan preferensinya. Seperti di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, tentu akan mendorong kemunculan fintech yang menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan bisnisnya.
Fintech yang berlandaskan hukum islam diyakini akan mendongkrak pasar keuangan syariah di Indonesia. Hal ini terlihat dari bidikan pembiayaan yang cukup agresif. Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Wijaya mengatakan kontribusi seluruh fintech berbasis syariah pada 2019 mencapai Rp1 triliun. Dia meyakini angka ini dapat tumbuh hingga tiga kali lipat pada 2020. Dengan catatan infrastruktur akan menjadi lebih baik. Hal ini sejalan dengan target 13 pemain pembiayaan online syariah yang menembus Rp4 triliun pada 2020.
Payung hukum dari financial technologi syariah juga berlandaskan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini memang mengatur secara umum setiap jenis financial technology P2P seperti fintech syariah dan konvensional. Kemudian, fintech inipun mengacu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 117/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.
Baca Juga:
- Syarat Ajukan Pinjaman Online, Solusi Cepat untuk Dana Darurat
- Fintech dari OVO Resmi Kantongi Izin Pinjaman Online OJK
- Sediakan Pinjaman Online dengan Bunga Rendah, 5 Aplikasi ini Terdaftar di OJK
Perbedaan Fintech Syariah dan Konvesional
Terdapat sejumlah perbedaan signifikan antara konvensional dengan syariah. Dalam sistemnya, syariah menggunakan syariat Islam sebagai dasar layanan keuangan mereka. Terdapat beberapa prinsip syariah yang harus dimiliki fintech ini, yaitu tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian), dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan). Salah satu perbedaan lainnya antara pinjaman syariah dengan konvensional yaitu tidak adanya bunga yang dikenakan terhadap jumlah pinjaman yang diberikan melainkan menggunakan sistem bagi hasil dan bagi resiko.
Dalam proses kerjanya, pinjaman berbasis syariah ini harus dijalankan sesuai dengan akad yang ditentukan, yaitu akad mudharabah dan musyarakah. Akad Mudharabah merupakan teknik kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dana. Kedua pihak tersebut berkompromi untuk menentukan besaran keuntungan yang akan dibagi secara adil. Apabila ada kerugian, pemilik modal harus bertanggung jawab kecuali keteledoran yang dilakukan oleh pihak pengelola dana. Sedangkan akad musyarakah merupakan teknik kerjasama antara dua orang atau lebih yang mana berdasarkan pembagian keuntungan yang rata. Apabila ada kerugian, kedua belah pihak harus menanggung beban kerugian yang sama pula.
Saat ini, terdapat 12 perusahaan fintech syariah yang sudah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para pemain tersebut yaitu Kapital Boost, Dana Syariah Indonesia (Dana Syariah), Danakoo, Alami Sharia, Syarfi Teknologi Finansial (Syarfi), Duha Madani Syariah, Qazwa, Maslahat Indonesia Mandiri (BSalam), Berkah FintechSyariah, Papitupi Syariah, Ethis Fintek Indonesia (Ethis) dan Ammana Fintek Syariah (Ammanna).
(DuniaFintech/VidiaHapsari)