Sejumlah pemain di industri financial technology (fintech) lending mengembalikan tanda terdaftarnya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini karena sejumlah perusahaan tak mampu bersaing di industri keuangan digital ini, karena sengitnya persaingan.
Terbaru, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan ada tujuh fintech lending yang mengembalikan tanda terdaftarnya. Sehingga, fintech lending terdaftar maupun berizin yang tercatat hingga 8 September 2021 hanya 107 fintech.
Adapun, perusahaan fintech lending yang mengembalikan tanda terdaftarnya di antaranya PT Serba Digital Teknologi (PINJAMINDO), PT Pundiku Mitra Sejahtera (Pundiku), PT Berkah Fintech Syariah (Fintek Syariah), PT Solusi Bijak Indonesia (Saku Ceria), PT BBX Digital Teknologi (BBX Fintech, PT Prima Fintech Indonesia (TEMAN PRIMA), dan PT Oke Ptop Indonesia (OK!P2P).
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK, Bambang W Budiawan mengatakan, persoalan permodalan menjadi kendala utama tumbangnya sejumlah pemain di industri ini.
Menurutnya, banyak penyelenggara fintech lending bermodal kecil, sehingga tak lagi mampu beroperasi karena kehabisan modal. Dia mengatakan, dalam tiga tahun operasi, mayoritas penyelenggara belum mampu menghasilkan laba. Akibatnya, modalnya terus tergerus.
Untuk itu, dia mengatakan OJK saat ini sedang menggodok peraturan baru untuk meningkatkan persyaratan modal disetor menjadi di atas Rp2,5 miliar, agar pelaku usaha memiliki cukup dana cadangan sebelum berhasil meraup laba.
Sebelumnya, dalam Peraturan OJK No. 77/2016 persyaratan modal disetor minimum hanya Rp2,5 miliar.
Ini 5 Pesan Rhenald Kasali agar Kamu Tidak Useless di Zaman Digital
“Kami sedang menyiapkan peraturan baru, salah satu isinya adalah peningkatan modal disetor agar mencukupi untuk bisa bertahan di fase awal sebelum mampu menghasilkan laba,” katanya kepada DuniaFintech.com, Senin (20/9).
1. OJK : Fintech Sulit Mendapatkan Nasabah
Bambang pun mengatakan, tumbangnya sejumlah perusahaan fintech lending juga disebabkan oleh sulitnya mendapatkan pangsa pasar di dalam negeri. Maraknya pertumbuhan pemain baru di industri ini membuat pelaku usaha kesulitan mencari keunikan dibandingkan pemain di bisnis serupa.
Menurutnya, bisnis para pemain di sektor ini kurang berkembang. Model bisnis yang ditawarkan tak mampu mendapatkan minat atau antusiasme pengguna, baik itu pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
“Akibatnya, pendapatannya kecil atau rendah dan tak mampu menopang biaya,” ucapnya.
2. Sistem IT yang Ketinggalan Zaman
Selain model bisnis yang kurang berkembang, menurut Bambang sistem elektronik kurang andal juga menjadi pemicu dari kegagalan sejumlah pemain industri ini untuk dapat bersaing.
Hal ini pula yang memicu penyedia layanan pendanaan digital atau peer to peer (P2P) lending tak mampu melakukan proses underwriting secara andal. Sehingga, sistemnya tak dapat menghasilkan scoring yang dapat melakukan profiling yang lebih akurat.
Untuk itu, sambungnya, setiap perusahaan yang ingin terjun di industri ini membutuhkan investasi yang besar di infrastruktur teknologi informasi (TI), agar keakuratan data dapat menjadi tumpuan perusahaan dalam meraih pasarnya.
5 Perubahan di Zaman Revolusi Digital Menurut Rhenald Kasali, Buat Semua Efisien
“Kekuatan P2P lending adalah teknologi informasi (TI) karena keseluruhan proses lebih banyak bertumpu pada TI, khususnya pada artificial intelligence (AI) dan big data. Bisnis P2P lending membutuhkan komitmen utk investasi pada IT,” tegasnya.
3. Tak Mampu Memenuhi Persyaratan
Adapun, hal lain di luar persoalan fundamental yang dihadapi oleh fintech lending ini sehingga dapat timbul da tenggelam dengan cepat adalah ketakmampuan mereka memenuhi persyaratan yang ditetapkan regulator.
“Penyelenggara tak mampu memenuhi persyaratan perizinan yang telah ditetapkan OJK,” tuturnya.
Kendati demikian, dia mengungkapkan bahwa salah satu strategi yang dapat dilakukan oleh penyelenggara layanan ini agar dapat bertahan di tengah persaingan yang ketat adalah dengan melakukan merger atau akuisisi antar platform.
Bambang pun menyebutkan bahwa pihaknya berencana memasukkan aturan merger dan akuisisi tersebut ke dalam POJK yang baru.
“Kami belum mendapatkan pengajuan merger/akuisisi antarplatform. Namun di dalam POJK yang baru akan ada persyaratan dan ketentuan ini yang menjadi pedoman dalam proses merger atau akuisisi. Motif untuk melakukan merger atau akuisi dikembalikan kepada masing-masing penyelenggara,” ujar dia.
Reporter : Nanda Aria
Editor : Gemal A.N. Panggabean