Satgas Waspada Investasi (SWI) bentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa penindakan penyalahgunaan data atau penawaran ilegal yang dilakukan oleh pinjaman online (pinjol) atau fintech lending ilegal belum dapat diproses secara pidana.
Pasalnya, menurut Ketua SW OJK, Tongam L Tobing, belum ada Undang-Undang (UU) yang dapat memproses fintech ilegal. Untuk itu dia mengusulkan agar dibentuk UU Fintech yang dapat mempidanakan penyelenggara tanpa adanya aduan terlebih dahulu, atau delik formil.
“Pidana itu kan harus dengan UU, kalau nggak ada UU-nya apa dasarnya toh. Jadi, perlu kita ingat bahwa UU yang mengatur,” katanya saat dihubungi DuniaFintech.com, Senin (20/9).
1. OJK Mengatur Tindak Pidana Pelaku Fintech Ilegal
Dia menjelaskan, sejauh ini proses hukum yang dapat diambil konsumen jika merasa dirugikan oleh keberadaan fintech ilegal ini hanya dengan UU ITE dan KUHP dengan pasal penisataan atau perbuatan tidak menyenangkan. Artinya, korban harus melaporkan terlebih dahulu baru dapat diproses secara hukum, atau merupakan delik materil.
Untuk itu, ke depan agar lebih memberikan kepastian hukum bagi konsumen, UU Fintech perlu didorong. Tujuannya, agar setiap tindakan yang merugikan diatur secara rigid di dalam pasal-pasalnya seperti UU Perbankan.
2. Belajar dari UU Perbankan
Dia menyebutkan, di UU Perbankan tahun 1998 pasal 46 dirumuskan bahwa kegiatan menghimpun dana tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia adalah ilegal, tanpa hak dan melawan hukum.
Kemudian, pertanggungjawaban korporasi untuk kegiatan sebagaimana dimaksud, selain dipidananya pelaku tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Perbankan.
Hal inilah, menurutnya, yang melatarbelakangi munculnya wacana pembentukan UU Fintech, agar direksi atau pemilik penyelenggara pinjol ilegal dapat dikenakan pidana. Selama ini, yang dapat dikenakan sanksi pidana hanya debt collector atau penagih utang.
“Jadi, misalkan di salah satu pasal dikatakan bahwa pelaksanaan kegiatan P2P lending tanpa izin itu pidana, tidak harus ada korban baru dilakukan penyidikan. Dengan adanya penawaran ilegal sudah merupakan pidana,” ujarnya.
Adapun, bentuk penawaran ilegal yang dimaksudkannya adalah penawaran berbagai jasa pinjaman dengan mengakses kontak pribadi konsumen tanpa izin atau bentuk lain yang nanti akan diatur secara lebih detil di dalam UU.
“Entah lewat apapun selama itu bisa dibuktikan nanti bahwa itu adalah pinjol ilegal, yang semestinya mendapatkan izin OJK, ini bisa dipidana tapi harus dibuktikan secara benar-benar,” ucapnya.
4. Salah Satu Cara Memberantas Pinjol Ilegal
Tongam pun menuturkan, penggodokan UU Fintech ini diperlukan untuk memberantas maraknya pertumbuhan pinjol ilegal yang merugikan masyarakat. Pasalnya, seiring dengan perkembangan teknologi siapapun dapat menawarkan pinjaman ilegal dengan mudah, bahkan tanpa mengikuti regulasi yang telah dibuat oleh regulator.
“Fintech lending ini kan merupakan keuangan digital yang perlu ditata dengan rapi, salah satunya itu tadi membasmi yang ilegal. Caranya harus ada peraturan UU yang mengatur pidananya,” tuturnya.
Sata ini saja, ucapnya, meskipun OJK dan pemerintah telah secara massif melakukan pemberantasan pinjol ilegal dengan menutup sejumlah platform, namun perusahaan baru terus tumbuh, bahkan yang telah ditutup pun kemudian hanya berganti nama.
Saat ini, hingga 8 September 2021, fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK hanya 107 platform.
5. Undang-Undang Tak Semaju Perkembangan Teknologi
Kendati demikian, Tongam menyadari bahwa UU Fintech yang nantinya akan dibentuk tersebut tentu tidak dapat mewadahi industri fintech secara keseluruhan. Karena, teknologi keuangan berkembang sangat cepat dan pesat.
Namun, dia mengatakan bahwa paling tidak UU tersebut dapat mengatur dengan rapi industri fintech yang ada saat ini dengan baik. Dan seiring dengan perkembangan waktu dan juga perkembangan teknologi yang digunakan di industri ini, perubahan pada UU juga dapat dilakukan.
“UU itu tentu mengatur kondisi yang ada saat ini. Tidak ada UU yang terus menjangkau ke depan, tidak tahu kita rencana kedepan seperti apa. Nanti kalau ada perubahan kan bisa diamandemen,” kata dia.
6. Undang-Undang Dibutuhkan Karena Aturan OJK Lemah
Sementara itu, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai bahwa UU Fintech dibutuhkan karena aturan yang dibuat oleh OJK masih lemah dalam memberi kepastian hukum dan keamanan bagi konsumen.
Peraturan mengenai Fintech sebenarnya sudah diatur dalam POJK 77/2016 mengenai Fintech P2P Lending, namun tentu jika dilihat dari kekuatan hukum POJK ini masih relatif lemah untuk beberapa hal diantaranya ketentuan mengenai tindak pidana.
“Jadi sebenarnya adanya UU Fintech untuk meregulasi fintech agar bisa berkembangan dengan ekosistem yang lebih sehat bagi masyarakat, apalagi perkembangan fintech juga cukup pesat dan menyediakan beragam jasa sehingga sudah saatnya fintech diatur dengan regulasi yang lebih baik,” ucapnya kepada DuniaFintech.com saat dihubungi terpisah, Senin (20/9).
7. Selain Regulasi, Literasi Juga Penting
Yusuf pun mendorong agar pemerintah dalam hal ini OJK untuk terus berupaya meningkatkan literasi masyarakat. Sebab, salah satu yang membuat masyarakat mudah terjerat pinjol ilegal adalah karena rendahnya literasi keuangan masyarakat.
Dia menjelaskan, pada 2019 OJK indeks literasi dan inklusi keuangan. Dari hasil rilis survei diketahui indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia telah mengalami peningkatan dari 2013 dan 2016 ketika survei sebelumnya dilakukan, namun angka indeks literasi keuangan pada tahun 2019 masih berada di bawah 50% atau lebih tepatnya 38%.
Artinya dari total responden sekitar 12.000 orang, hanya 38% orang yang mengakui punya literasi terkait beragam produk keuangan, kalau dilihat lebih detail, hanya 15% dari total 38% yang mengetahui literasi keuangan mengenai lembaga pembiayaan secara luas juga relatif kecil atau hanya sekitar 15%.
Sementara untuk data inklusi keuangan meskipun persentase masyarakat yang sudah mempunyai akses ke perbankan sudah cukup besar atau 73% namun akses masyarakat ke lembaga pembiayaan relatif kecil atau sekitar 14%.
Maka tidak heran dengan kecil literasi keuangan masyarakat Indonesia dan juga masih terbatasnya akses ke beberapa layanan keuangan, di luar perbankan, kemudian menjadi salah satu alasan tingginya angka masyarakat yang akhirnya harus terlibat dengan layanan keuangan fintech illegal.
“UU Fintech ini juga tidak bisa bekerja sendiri artinya dukungan peningkatan literasi keuangan masyarakat juga harus diperhatikan oleh otoritas terkait untuk meminimalisir penyalahgunaan fintech ke depannya,” tegas Yusuf.
Reporter : Nanda Aria
Editor : Gemal A.N. Panggabean