Site icon Dunia Fintech

Pajak Bisnis Fintech Sumbang Pendapatan Negara Rp 647,52 Miliar

pajak bisnis fintech

JAKARTA, duniafintech.com – Pajak bisnis fintech (financial technology) berhasil menyumbang pendapatan bagi negara sebesar Rp 647,52 miliar. Kontribusi besar dari pajak bisnis fintech itu terhitung sejak diberlakukan pada 1 Mei 2022.

Adapun dari total penerimaan sebesar Rp 647,52 miliar pajak dari bisnis fintech peer to peer/P2P lending alias pinjaman online (pinjol) itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berhasil mengumpulkan penerimaan setoran untuk tahun 2023 senilai Rp 437,47 miliar. 

Itu berarti, ada peningkatan penerimaan pajak bisnis fintech apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Seperti yang diketahui, aturan pajak  fintech yang berbasis peer to peer (P2P) lending merupakan jenis pajak baru yang mulai berlaku sejak 1 Mei 2022.

Hal itu sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)( atas Penyelenggara Teknologi Finansial (Fintech).

Baca juga: Prospek Bisnis Fintech yang Jadi Incaran Investor?

Industri Fintech Indonesia Semakin Berkembang

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, setoran pajak bisnis fintech yang meningkat tersebut mengindikasikan bahwa industri fintech di Indonesia saat ini semakin berkembang.

Di samping tercermin dari penerimaan pajaknya, hal ini juga bisa dilihat dari data pelaku industri fintech yang juga semakin tumbuh. Berdasarkan data laporan AC Ventures dan Boston Consulting Group, jumlah pemain fintech di Indonesia telah bertumbuh hingga enam kali lipat dalam satu dekade terakhir.

Pada tahun 2011, misalnya, jumlah pemain fintech hanya tercatat 51 entitas, lalu kian bertambah menjadi 334 pada tahun 2022.

“Ini menunjukkan peningkatan yang signifikan,” kata Ariawan, dikutip dari Kontan.co.id , Senin (22/1/2024).

Bukan itu saja, Ariawan pun menambahkan bahwa layanan jenis fintech di Indonesia juga semakin beragam.

Jika awalnya hanya didominasi oleh segmen pembayaran yang mencapai 55% pada tahun 2011, kini muncul fintech baru seperti pinjaman, asuransi, manajemen kekayaan dan lain sebagainya. 

Perlu Perkuat Pengawasan

Meski demikian, dalam pandangannya, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terkait pajak untuk P2P lending. 

Pertama, pengawasan dari pelaku industri fintech dengan memastikan semua pelaku memiliki izin resmi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia. Kedua, penindakan tegas terhadap pelaku fintech ilegal yang tidak hanya merugikan masyarakat, namun juga merugikan penerimaan negara.

“Fintech ilegal adalah masuk dalam kategori underground economy yang tidak bisa dipajaki. Oleh karena itu, harus ditertibkan oleh pemerintah,” katanya.

Ketiga, berkaitan dengan literasi digital masyarakat. Menurutnya, mudahnya bagi masyarakat menggunakan jasa fintech membuat penggunanya terkadang kehilangan kontrol diri dalam pemanfaatannya yang membuat penggunaannya bukan ke sektor produktif.

Keempat, terkait dengan regulasi dan jaminan keamanan data. Ariawan bilang, adanya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan harus benar-benar dijalankan oleh pemerintah dan pelaku industri fintech.

Baca juga: Tips Mengembangkan Bisnis Fintech serta Keunggulannya, Wajib Tahu!

Dan terakhir yang menjadi sangat penting adalah ketegasan OJK dalam mengategorikan industri fintech ini.

Dalam hal ini, apakah fintech masuk dalam kategori jasa penyelenggara teknologi finansial sehingga wajib memungut PPN sebesar 11% atas layanan yang diberikan atau diperlakukan layaknya jasa keuangan seperti perbankan.

“Perbedaan perlakuan ini berpengaruh pada kewajiban mereka sebagai pemungut PPN,” terang Ariawan.

Menurutnya, industri P2P lending memiliki model bisnis yang serupa dengan bank. Di mana industri pinjaman online (pinjol) memiliki model bisnis menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya ke debitur.

Oleh karena itu, sudah selayaknya secara aturan perpajakan juga diperlakukan yang sama dengan jasa keuangan seperti perbankan.

Ariawan menerangkan, hal itu penting dilakukan agar persaingan industri fintech P2P lending dengan perbankan juga lebih adil.

Objek Jasa Kena Pajak

Sebagai informasi, sama seperti jasa lainnya, transaksi pinjol merupakan objek jasa kena pajak yang dikenakan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 atas bunga yang diperoleh pemberi pinjaman atau leader.

Nah, PPh Pasal 23 ini dikenakan pada subjek pajak atau wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dengan tarif sebesar 15% dari jumlah bruto atas bunga.

Sedangkan PPh Pasal 26 dikenakan pada subjek pajak atau wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dengan tarif 20% dari jumlah bruto atas bunga.

Baca juga: Mengembangkan Bisnis Fintech di Indonesia yang Perlu Kamu Pahami

Baca terus berita fintech Indonesia dan kripto terkini hanya di duniafintech.com

Exit mobile version