JAKARTA, duniafintech.com – Langkah PT Pertamina (Persero) menaikkan harga LPG non subsidi secara bertahap sejak Sabtu (25/12) kemarin membuat masyarakat tercekik. Adapun kenaikan LPG ini diketahui sebesar Rp1.600—Rp2.600 per kilogram (kg).
Misalnya saja yang dirasakan oleh ibu rumah tangga asal Bogor bernama Sri Hartati. Perempuan berusia 53 tahun itu menyebut bahwa kebijakan ini berpotensi menekan kehidupannya. Hal itu karena dirinya menjadi salah seorang konsumen tabung gas LPG 12 kg, yang notabene subsidinya ikut dicabut oleh pemerintah.
Diakuinya, sebelum adanya kenaikan, dirinya mesti mengeluarkan Rp160 ribu untuk membeli gas untuk kebutuhan satu sampai dengan dua bulan. Namun, dengan asumsi kenaikan harga Rp2.600 per kg yang diberlakukan oleh Pertamina saat ini, pengeluaran itu dapat membengkak menjadi Rp191.200.
“Jangan kemahalanlah, itu menindas masyarakat. Ini kami lagi usaha. Lagi terpuruk gini keadaan,” katanya, kemarin (27/12), seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.
Sri yang membuka usaha laundri pakaian itu menambahkan, pembengkakan pengeluaran ini sangat terasa baginya, terlebih lagi pada saat yang sama harga bahan pokok pun ikut naik. Mengutip data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), untuk harga cabai secara rata-rata naik 2,61 persen per Kamis (16/12) lalu menjadi Rp86.500 per kg secara nasional.
Jika dibedah berdasarkan daerah, harga cabai rawit merah termahal ada di Provinsi Maluku Utara, yakni Rp165 ribu per kg. Menyusul di belakangnya adalah Provinsi Maluku, dengan harga Rp153.750 per kg. Bukan hanya cabai rawit merah, kenaikan pun terjadi pada cabai rawit hijau yang kian mahal Rp400 per kg atau naik 0,7 persen menjadi Rp57.400 secara nasional.
“Sekarang telur naik, ayam naik, cabe naik. Berat banget. Kalau bisa, jangan semuanya naiklah,” tutur Sri.
Sejalan dengan kisah Sri tadi, Yeni Agustini pun mengeluhkan hal yang sama. Ibu rumah tangga berusia 36 tahun itu mengaku, dirinya merasa keberatan atas kenaikan LPG non subsidi ini.
“Keberatan-lah, terlebih harga bahan pokok juga naik. Masa’ gas harus naik juga?” ucap wanita asal Kabupaten Bandung Barat ini.
Biasanya, dituturkan Yeni, dirinya membeli LPG 12 kilogram (kg) dengan harga Rp150 ribu. Akan tetapi, dengan kenaikan Rp2.600 per kg, diasumsikan sekarang ini Yeni mesti membayar Rp181.200.
Dalam pandangannya, kenaikan harga pun dapat lebih tinggi jika sudah sampai ke agen-agen pengecer gas. Oleh sebab itu, harapannya, pemerintah agar dapat lebih mengontrol kenaikan harga ini agar tidak terlalu drastis.
Jerit yang sama juga dilontarkan oleh Andini Siwi Pratiwi, ibu rumah tangga asal Bekasi. Diakui perempuan berusia 33 tahun ini, dirinya pun merasa keberatan dengan kenaikan LPG non subsidi tersebut.
Sama dengan Sri, ia juga mengeluhkan soal kebutuhan yang semakin meningkat lantaran kenaikan juga terjadi pada bahan pokok seperti minyak, telur, dan lainnya.
“Jujur, kalau ibu rumah tangga, sangat keberatan karena kan berasa, apalagi sekarang kenaikan bukan hanya LPG kan, tapi serentak, dari mulai minyak dan lain-lain. Jadi, berasa banget,” sebutnya.
Andini menuturkan, biasanya ia membeli LPG 12 kg seharga Rp145 ribu sampai dengan Rp165 ribu, bergantung pad agen tempatnya membeli gas. Adapun LPG ini biasanya ia pakai untuk kebutuhan selama enam bulan. Namun, kalau diasumsikan dengan kenaikan Rp2.600 per kg, Andini sekarang mesti membayar Rp196.200 untuk gas 12 kg, naik dari yang sebelumnya Rp165 ribu.
Adapun sebelumnya, Pertamina menaikkan harga LPG non subsidi secara bertahap sebesar lantaran adanya lonjakan harga di level internasional.
“Besaran penyesuaian harga LPG non subsidi yang porsi konsumsi nasionalnya sebesar 7,5 persen berkisar antara Rp1.600—Rp2.600 per Kg. Perbedaan ini untuk mendukung penyeragaman harga LPG ke depan serta menciptakan fairness harga antardaerah,” kata Pjs Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Sub Holding Pertamina Commercial & Trading, Irto Ginting.
Disampaikannya, kenaikan harga LPG non subsidi ini dilakukan untuk merespons tren peningkatan harga Contract Price Aramco (CPA) LPG yang terus meningkat sepanjang tahun ini. Dalam catatannya, pada November 2021, harga mencapai US$847/metrik ton. Harga itu menjadi yang tertinggi sejak 2014 lalu atau naik 57 persen sejak Januari 2021.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra