Site icon Dunia Fintech

Pencucian Uang 5.0 Disebut Gunakan Teknologi Terbaru, Apa Saja?

pencucian uang ppatk

JAKARTA, duniafintech.com – Tindak kejahatan pencucian uang dalam beberapa waktu terakhir semakin sering memanfaatkan fitur teknologi. Menjamurnya metode baru pencucian uang ini memungkinkan revolusi money laundering dari “edisi” 1.0 menjadi 5.0.

Hal itu sebagaimana diungkap oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavanda. Disampaikannya, memasuki era baru ini, modus pencucian uang dapat menggunakan mata uang kripto, cloud, NFT, sampai dengan blockchain.

“Mereka menggunakan teknologi terbaru, yaitu token yang tidak dapat dipertukarkan (non fungible token/NFT), bitcoin, atau jenis mata uang kripto lainnya yang menggunakan blockchain teknologi, metaverse,” ucapnya dalam webinar bertajuk Opportunities,Challenges & Impacts of Utilizing New Tech in Strengthening The AML/CFT Regime, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (24/2/2022).

Disampaikannya, evolusi ini terjadi dari metode sederhana yang pada umumnya memakai rekening bank pribadi atau bisnis sederhana, lalu saat ini beroperasi di yurisdiksi yang berbeda hingga menerapkan instrumen abu-abu dan kurang diatur.

Pada masa sebelumnya, imbuh Ivan, biasanya pelaku mencuci uang mereka lewat bisnis yang terlihat sah dan punya kantor fisik. Secara umum, pelaku ini akan menyuntikkan “uang kotor” ke dalam sistem keuangan lewat sektor keuangan konvensional, misalnya bank, sekuritas, asuransi, bursa, dan sektor keuangan lainnya.

Sementara itu, saat ini, lanjut Ivan, pelaku bukan hanya menggunakan bank konvensional, melainkan juga memanfaatkan instrumen non-konvensional lainnya. Laporan organisasi anti pencucian uang global atau Financial Action Task Force (FATF) pada 2010 lalu menyebutkan bahwa metode pembayaran baru ini termasuk kartu prabayar, layanan pembayaran internet, dan layanan pembayaran seluler.

“Ini baru teknologi pembayaran baru yang memiliki kesamaan, yaitu bersifat non-tatap muka. Sifat ini dimanfaatkan oleh para penjahat untuk menyembunyikan aktivitasnya saat melakukan pencucian uang mereka,” tuturnya.

Indonesia belum jadi anggota FATF

Adapun dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD, mengungkapkan bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara G20 yang belum bergabung menjadi anggota di organisasi anti pencucian uang global (Financial Action Task Force/FATF).

Ia menilai, status keanggotaan Indonesia di organisasi anti pencucian uang itu sejauh ini masih terbatas sebagai pemantau. Adapun alasan belum bergabung ke dalam FATF, yakni lantaran Indonesia belum menyelesaikan seluruh rekomendasi dalam penilaian Mutual Evaluation Review (MER).

“Indonesia saat ini satu-satunya negara G20 yang belum menjadi negara anggota FATF,” katanya.

“Kesuksesan Indonesia di dalam MER FATF membutuhkan peningkatan kepatuhan terhadap rekomendasi yang meliputi berbagai bidang dalam program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang biasa kita singkat di Indonesia APU PPT.”

Maka dari itu, ia pun berharap agar kesiapan Indonesia dalam meningkatkan kepatuhan terhadap rekomendasi FATF bisa ditingkatkan, utamanya dalam kategori immediate outcomes 3. Kemudian, rekomendasi 15 perihal lembaga pengawas dan pengatur (LPP), termasuk di dalamnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Indonesia, sambungnya, telah memperbaharui penilaian risiko APU PPT dalam dokumen penilaian risiko nasional atau National Risk Assessment (NRA) tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) pada tahun lalu.

Lebih jauh diungkapkannya, pada dokumen NRA juga tercantum kajian risiko teknologi baru sehingga OJK dan seluruh penyedia jasa keuangan bisa menerapkan APU PPT yang berbasis risiko sesuai dengan NRA.

 

 

 

 

Penulis: Kontributor / Boy Riza Utama

Editor: Anju Mahendra

Exit mobile version