Site icon Dunia Fintech

Penurunan Kelas Menengah di Indonesia dan Dampaknya pada Ekonomi Nasional

Penurunan Kelas Menengah di Indonesia dan Dampaknya pada Ekonomi Nasional

Penurunan Kelas Menengah di Indonesia dan Dampaknya pada Ekonomi Nasional

JAKARTA, 16 Desember 2024 – Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan drastis dalam beberapa tahun terakhir. Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 48,27 juta jiwa pada 2023.

Penurunan ini setara dengan 18,8 persen atau sekitar 9,06 juta jiwa, yang berdampak signifikan pada perekonomian, terutama dalam hal konsumsi dan penyerapan produk.

“Kemerosotan kelas menengah ini juga mencerminkan keterbatasan lapangan kerja, yang pada akhirnya memengaruhi pertumbuhan produksi,” ujar Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Zamroni Salim.

Standar Kemiskinan yang Rendah

Zamroni juga menyoroti standar garis kemiskinan di Indonesia yang lebih rendah dibandingkan dengan standar Bank Dunia. Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan pada pengeluaran sekitar Rp 877.629 per bulan, sedangkan versi Badan Pusat Statistik (BPS) berada di bawah Rp 600 ribu.

“Penetapan standar ini tidak lepas dari berbagai faktor, baik ekonomis maupun politis,” tambahnya.

Selain itu, jumlah masyarakat rentan miskin juga meningkat tajam. Pada 2019, angka ini tercatat sebanyak 54,97 juta jiwa atau 20,56 persen dari total populasi. Namun, pada 2024, jumlahnya melonjak menjadi 67,69 juta jiwa atau 24,23 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kelas menengah yang terdegradasi berpindah ke kelompok rentan miskin.

Kelas Menengah di Indonesia Susut, Distribusi Ekonomi yang Memburuk

Andrinof Chaniago, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas periode 2014–2015, menilai bahwa penyebab utama kemerosotan kelas menengah bukanlah perlambatan ekonomi, melainkan distribusi ekonomi yang semakin tidak merata.

“Masalahnya bukan pada melemahnya aset, tetapi distribusinya yang semakin buruk,” ujarnya dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan bahwa sektor tertentu, seperti pertambangan, menghasilkan keuntungan besar namun kurang memberikan dampak luas bagi perekonomian. Sektor ini cenderung dikuasai oleh segelintir pihak dan sulit diakses oleh masyarakat umum.

“Jumlah perusahaan tambang di Indonesia mungkin sekitar 2.000. Kalau bertambah pun, angkanya tidak akan signifikan. Industri ini lebih banyak dikuasai oleh mereka yang sudah mapan,” jelasnya.

Manufaktur dan Tantangan Investasi

Di sisi lain, Andrinof menilai sektor yang berpotensi mendorong ekonomi inklusif adalah manufaktur. Namun, pengembangan sektor ini menghadapi berbagai hambatan, seperti biaya pembiayaan yang tinggi dan pasar yang lebih mendukung produk impor.

Bahkan, pelaku usaha baru yang berusaha masuk ke sektor manufaktur cenderung beralih ke sektor ekstraktif seperti kelapa sawit, batu bara, dan nikel, karena margin keuntungan yang lebih besar.

“Kalaupun ada yang memiliki modal, mereka enggan berinvestasi di manufaktur karena marginnya kecil dan risiko stabilitas tinggi. Namun, jika mereka mendapat izin tambang, semuanya menjadi lebih mudah,” tambahnya.

Exit mobile version