JAKARTA, duniafintech – Operasi militer khusus yang dilancarkan Rusia ke Ukraina akan merembet kepada permasalahan ekonomi global, terutama terkait supply chain. Salah satunya adalah terkait pasokan paladium dunia yang merembet ke industri otomotif dan cip.
Asisten Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Stategic and International Studies (CSIS) Lestary J. Barany menjelaskan Rusia dikenal sebagai pemasok 40% paladium global. Karena itu, jika pasokan terganggu industri yang akan terimbas dari kasus ini adalah industri otomotif dan cip dunia.
“Rusia ini merupakan ekspor utama atau 40% dari ekspor paladium global. Paladium ini merupakan input yang digunakan untuk industri otomotif dan juga pembuatan cip, jadi in the long term, supply chain untuk industri ini bisa terpengaruh,” katanya dalam video conference, Rabu (2/3/2022).
Rusia sendiri merupakan pasar besar penghasil paladium yang diketahui adalah komoditas pembersih emisi kendaraan berbahan bakar bensin. Apabila hal ini terus berlanjut, maka diperkirakan akan ada lonjakan harga dari industri otomotif.
Dalam hal ketersediaan komoditas ini, menurutnya perlu ada alternatif lain sebagai substitusi daripada bahan tersebut. Seperti yang saat ini dilakukan oleh Jerman dan Italia yang mencari diversifikasi dan mengurangi ketergantungan terhadap Rusia.
“Di sini Italia kembali pada batubara ya dan ini juga ada konsekuensi lainnya, karena kita mengingat bahwa energi dari batubara ini lebih tidak bersih dibanding dengan energi yang sebelumnya,” ucap Lestary.
Dirinya juga menyampaikan, walaupun dampak secara langsung belum terasa untuk perekonomian. Namun, kondisi ini harus terus-menerus dipantau.
“Karena kita masih belum tahu seberapa dan berapa lama kondisi ini terjadi dan apa yang akan dilakukan secara persisnya oleh negara-negara lain,” tuturnya.
Sebelumnya, CEO Grant Thornton Indonesia Johanna Gani mengatakan konflik Rusia ke Ukraina akan memicu krisis energi di dunia. Pasalnya, Rusia menjadi salah satu negara eksportir minyak dan gas (migas) serta mineral lainnya seperti batubara dan nikel.
Dia menjelaskan, apabila konflik ini berlanjut, tentunya kenaikan harga minyak ini akan berdampak kepada peningkatan inflasi di Indonesia. Sedangkan, di sisi moneter Bank Indonesia diminta memperhatikan kondisi ekonomi sebelum memutuskan menaikkan suku bunga acuan.
“Di sini Bank Indonesia perlu memperhatikan kondisi domestik sebelum menaikkan suku bunga acuan karena dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Adapun, konflik geopolitik Rusia dengan Ukraina tentunya dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi seluruh negara di dunia yang sedang berusaha untuk bangkit dari pandemi.
Konflik juga dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran aktivitas ekspor dan impor antara Rusia dan negara Eropa lainnya, di mana Ukraina berperan penting sebagai jembatan kedua belah pihak.
Menurutnya, konflik ini juga membuat para investor global pesimis berinvestasi di sejumlah negara berkembang lainnya. Hal ini dapat dilihat, dari indeks Dow Jones Industrial Average yang ditutup turun sekitar 1,8%.
Penurunan juga diikuti indeks S&P 500 yang juga anjlok 2,1% ke 4.380,3 dan Nasdaq Composite yang terkoreksi turun 2,9% ke 13.716,7 pada Kamis (17/2). Selain itu, bursa Asia juga ikut terkoreksi tajam menyusul Wall Street.
Sementara itu, Jumat (18/2), indeks Nikkei 225 terlihat anjlok 1,2% ke 26.903,6 yang diikuti oleh indeks Hang Seng yang turut melemah 0,6% ke level 23.633,7.
“Hal tersebut terjadi karena investor beralih ke aset safe haven seperti obligasi dan emas yang dinilai lebih aman, menyusul ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang semakin memanas,” ucapnya.
Penulis : Nanda Aria
Editor : Panji A Syuhada