duniafintech.com – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mulai melakukan sertifikasi internal terhadap para petugas collecting/penagihnya. Sertifikasi tersebut dilakukan untuk menghindari kemungkinan terjadinya praktik-praktik penagihan yang melanggar etika dan ketentuan.
Ketua Harian AFPI, Kuseryansyah, mengatakan bahwa sertifikasi tersebut pertama digelar pada 20 Mei kemarin yang diikuti oleh 101 petugas penagih yang berasal dari 29 anggota AFPI.
Menurut sajian berita Medcom, Kuseryansyah mengatakan:
“Batch pertama sudah dimulai pada 20 Mei kemarin, tapi hasilnya kita belum tahu.”
Kuseryansyah pun mengatakan bahwa program sertifikasi tersebut bertujuan agar para stakeholder memahami secara utuh proses bisnis Fintech lending. Dengan begitu, aduan dari para peminjam mengenai tata cara penagihan yang tidak sopan dapat ditekan. Kuseryansyah pun menambahkan:
“Kami juga melakukan standardisasi sertifikasi terhadap tenaga penagih. Kita mau aktif bukan pasif. Aktifnya itu tenaga penagihnya, supervisornya, manajernya itu diberi tahu bahwa ini enggak boleh, makanya di-training.”
Menanggapi hal tersebut, CEO Kredit Pintar, Wisely Reinharda Wijaya, selaku anggota AFPI, menyebut bahwa perusahaannya telah mengikuti pedoman maupun tata cara penagihan yang telah ditetapkan asosiasi. Bahkan, Wisely pun telah mewajibkan seluruh petugas collecting-nya untuk mengikuti program sertifikasi.
Wisely berpendapat, program sertifikasi tersebut akan terus dilakukan terhadap seluruh kolektor atau penagih pinjaman online yang terdaftar di OJK maupun anggota AFPI. Jika penagih tak lolos sertifikasi maka platform yang menaunginya akan tak diizinkan untuk menggunakan tenaga mereka (penagih).
Sekedar informasi, menurut data AFPI, Asosiasi telah menerima sebanyak 426 pengaduan sejak 2019. Mayoritas mengadu soal penagihan dengan cara yang kasar dan akses terhadap data pribadi oleh Fintech lending.
Menurut sajian berita Medcom, laporan tentang penagihan yang dilakukan secara kasar mencapai 43% dari total aduan. Lalu, 41% aduan terkait akses data pribadi. Kemudian, 10% melaporkan bunga dan denda Fintech lending yang terlalu tinggi.
Adapun 426 aduan tersebut melibatkan 510 Fintech pinjaman. Sebanyak 70% Fintech lending ilegal atau tidak terdaftar di OJK. Lalu, 30% lainnya merupakan anggota AFPI.
Sementara YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) hanya menerima 26 aduan kosumen sejak awal tahun. Aduan tersebut hampir serupa dengan aduan yang diterima AFPI yakni mengenai adanya ancaman terhadap konsumen yang gagal bayar.
Namun setelah dicermati, pinjaman online yang dilaporkan tersebut juga bukan bagian dari AFPI maupun terdaftar di OJK. Berdasarkan sajian berita Medcom, perusahaan yang dilaporkan itu diantaranya adalah, Rupiah Now, Rupiah Hero, Kantong Darurat, Pinjam Beres, Uang Zaman, Unta Kotak, Dompet Pro, Duit Plus serta Duta Deal.
OJK telah berkali-kali memperingatkan agar masyarakat hanya menggunakan jasa perusahaan Fintech yang telah terdaftar di mereka agar dapat menghindari ataupun meminimalisir adanya hal-hal yang memberatkan seperti bunga yang terlalu tinggi, penagihan yang melanggar etika dan ketentuan, serta hal-hal lain yang tidak diinginkan.
Image by Gerd Altmann from Pixabay
-Syofri Ardiyanto-