Site icon Dunia Fintech

Ini 5 Penyebab Pinjol Tidak Mampu Bersaing di Indonesia

Perbedaan P2P Lending Syariah dan Konvensional

Tidak mudah bagi perusahaan fintech P2P Lending atau biasa kita kenal dengan pinjaman online (pinjol) bersaing di Indonesia. Ada beberapa penyebab startup di sektor itu sehingga tidak mampu bersaing.

Baru-baru ini dua perusahaan yang bergerak di bidang finansial teknologi atau fintech lending, terpaksa mengembalikan tanda terdaftarnya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OKJ) dan keluar dari persaingan perebutan pasar di sektor keuangan digital.Dua perusahaan tersebut adalah PT Smart Karya Digital (FinanKu) dan PT Tujuh Mandiri Sejahtera (Vestia).

Ketua Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Adrian Gunadi menyebutkan, keluarnya mereka dari gelanggang karena tak mampu bersaing dalam kompetisi yang semakin ketat.

“Sebagaimana diketahui fintech lending rata-rata adalah perusahaan startup, sehingga persaingan menjadi salah satu faktor (sejumlah perusahaan tutup),” katanya, kepada DuniaFintech, Rabu (15/9).

Berikut lima hal yang menyebabkan Fintech P2P atau pinjol tidak mampu bertahan di pasar indonesia.

  1. Pinjol Tidak Mampu Bertahan di Kondisi Dinamis

Adrian menjelaskan, sektor keuangan digital bergerak sangat dinamis. Pangsa pasar yang luas di dalam negeri dan Asia Tenggara menyebabkan pertumbuhan perusahaan baru bergerak cepat.

Namun di saat bersamaan persaingan yang ketat juga memicu tutupnya sejumlah perusahaan.

  1. Tidak Memiliki Infrastruktur yang Memadai

Pinjol atau perusahan P2P Lending di Indonesia tidak mampu bertahan di kondisi yang dinamis,  karena tidak memiliki infrastruktur yang memadai.

Karena itu, menurut Co-Founder & CEO Investree ini, agar perusahaan yang bergerak di bidang finansial teknologi dapat bertahan di tengah persaingan yang ketat, perusahaan harus memiliki infrastruktur yang memadai.

Misalnya, harus memiliki produk pasar yang cocok dengan situasi dan kondisi sosial di mana dia tumbuh.

  1. Pinjol Tidak Memiliki Pendanaan yang Kuat

Perusahaan fintech P2P lending banyak yang tidak memiliki pendanaan yang kuat. Bisa jadi memang karena modal yang kurang. Ini bisa menyebabkan tidak kuatnya tim dan infrastruktur. Menurut Adrian Gunadi, perusahaan fintech harus memiliki pendanaan yang kuat sehingga mampu memiliki infrastuktur dan sumber daya manusia yang mumpuni.

  1. Sumber Daya Manusia yang Kurang

Tim pengembang atau developer serta tim lainnya juga tidak bisa dikesampingkan. Jika memiliki pendananaan yang baik, tapi tidak memiliki tim yang. baik, maka startup tidak akan berjalan. Termasuk startup fintech P2P Lending.

“Mereka harus memiliki product market fit, tim yang kuat, IT yang kuat, dan pendanaan yang memadai untuk dapat berkembang dengan baik,” ujarnya.

  1. Tidak Menargetkan Segmen Pasar

Mengabaikan segmen pasar juga menjadi penyebab hancurnya Fintech P2P lending. Terlebih lagi, masih banyak potensi dari segmen pasar yang berbeda di Indonesia dan Asia Tenggara yang belum tergarap.

Adrian pun menuturkan, untuk dapat mengurangi persaingan yang ketat di sektor keuangan digital, perusahaan harus menarget segmen pasar yang berbeda agar dapat menciptakan diferensiasi dengan perusahaan serupa.

Hanya dengan begitu, sambungnya, perusahaan dapat bertahan dan meraih pangsa pasarnya sendiri. Salah satu perusahaan yang berhasil mempraktikkan hal ini adalah Investree, yang mampu meluaskan pasarnya hingga ke Filipina dan Thailand.

“Potensi pasar masih luas di Asia Tenggara, karena masih awal fintech lending di Asia Tenggara,” tuturnya.

Penulis : Nanda Aria, Gemal A.N. Panggabean

Editor : Gemal A.N. Panggabean

Exit mobile version