Site icon Dunia Fintech

PPN 12% Ancam Daya Beli Masyarakat di Tengah Krisis Ekonomi?

Pemerintah Siapkan Insentif Fiskal sebagai Kompensasi Kenaikan PPN 12% pada 2025

Pemerintah Siapkan Insentif Fiskal sebagai Kompensasi Kenaikan PPN 12% pada 2025

JAKARTA, 13 November 2024 – PPN 12% akan berlaku mulai tahun 2025. Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 kembali menuai perhatian publik.

Kenaikan ini, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), diproyeksikan berlaku efektif pada Januari 2025. Dalam UU HPP tersebut, pemerintah juga berencana menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 22% menjadi 20%, yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di sektor usaha.

Namun, wacana ini menuai berbagai tanggapan, khususnya terkait dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat yang saat ini sedang tertekan.

Bambang Brodjonegoro, yang menjabat sebagai Menteri Keuangan pada periode 2014-2016, menolak rencana kenaikan tarif PPN. Menurut Bambang, kenaikan PPN yang dilakukan demi mengompensasi pemangkasan tarif PPh badan akan berdampak tidak adil.

Ramai diberitakan sejumlah media ternama di Indonesia, Bambang menjelaskan bahwa PPN dikenakan pada setiap transaksi masyarakat Indonesia, sedangkan PPh badan hanya berlaku untuk perusahaan menengah hingga besar.

Beban Kenaikan PPN 12%

Dengan demikian, beban kenaikan PPN akan lebih dirasakan oleh masyarakat luas, bukan oleh pelaku usaha yang akan menikmati penurunan PPh badan.

“Kalau kita turunkan PPh badan, yang mendapat manfaat adalah pengusaha besar dan menengah. Namun, ketika PPN dinaikkan, seluruh masyarakat yang bertransaksi, termasuk yang berpendapatan rendah, akan merasakan dampaknya,” ujarnya.

Bambang menilai kebijakan ini kurang adil karena PPN dikenakan tanpa memandang status ekonomi individu, berbeda dengan PPh badan yang terbatas pada pelaku usaha.

Dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat menjadi perhatian utama, mengingat kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang mengalami tekanan. Seiring dengan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak masyarakat kelas menengah yang mengalami penurunan status ekonomi.

Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja yang terdampak PHK hingga September 2024 mencapai 52.993 orang, naik 25,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 42.277 orang. Jika dibandingkan dengan bulan Agustus 2024, angka tersebut meningkat 14,6%, menunjukkan tren kenaikan yang cukup signifikan dalam jumlah PHK.

Telisa Aulia Falianty, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), juga menyoroti perlunya pemerintah meninjau ulang kebijakan kenaikan PPN ini. Ia menyatakan bahwa daya beli masyarakat yang sedang melemah akan semakin tertekan jika kebijakan ini diberlakukan.

“Kebijakan PPN tahun depan perlu dievaluasi, karena dampaknya terhadap daya beli masyarakat akan sangat signifikan,” ujar Telisa.

Wacana Kenaikan PPN 12%

Wacana kenaikan PPN ini bukanlah hal baru. Pada Agustus 2024, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% merupakan amanat dari Undang-undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Namun, pada Oktober 2024, ketika Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan kabinet di Magelang, Airlangga menyebut bahwa kenaikan PPN 12% belum menjadi topik pembahasan utama. Ketidakpastian mengenai rencana ini semakin terlihat saat Airlangga menyatakan bahwa pemerintah masih akan mengevaluasi kebijakan ini lebih lanjut.

Di tengah situasi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, dampak kenaikan PPN dikhawatirkan akan memperburuk daya beli masyarakat. Mengingat bahwa PPN dikenakan pada berbagai produk dan layanan yang digunakan sehari-hari, kenaikan tarif ini dapat menyebabkan harga kebutuhan pokok dan barang lainnya ikut naik.

Dengan demikian, masyarakat dengan pendapatan rendah akan semakin terbebani, terutama mereka yang terdampak langsung oleh kondisi ekonomi yang tidak stabil.

Sebagai perbandingan, kenaikan PPN di beberapa negara lain juga sering menimbulkan tantangan serupa. Di Jepang, kenaikan PPN dari 8% menjadi 10% pada tahun 2019 sempat menimbulkan penurunan daya beli, khususnya di kalangan kelas menengah ke bawah.

Sementara itu, di Uni Eropa, peningkatan PPN biasanya diberlakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat terlebih dahulu, guna menghindari dampak negatif terhadap konsumsi domestik.

Selain itu, kenaikan PPN akan berdampak pada berbagai sektor industri, khususnya sektor yang menjual produk konsumen, seperti makanan dan minuman, ritel, serta sektor jasa. Harga produk dan layanan yang meningkat akibat kenaikan PPN bisa berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat, yang pada akhirnya akan menurunkan permintaan produk dalam negeri.

Beberapa ekonom berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN sebaiknya ditunda hingga ekonomi nasional benar-benar pulih. Mereka menyarankan agar pemerintah fokus pada kebijakan lain yang lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah.

Salah satu usulan yang muncul adalah memperluas basis pajak dengan memperbaiki sistem administrasi pajak, seperti menindaklanjuti kepatuhan wajib pajak yang selama ini belum optimal.

Dengan mempertimbangkan dampak yang luas terhadap masyarakat, banyak pihak berharap agar pemerintah mengevaluasi kembali rencana kenaikan PPN ini. Kebijakan yang pro-rakyat dinilai akan membantu masyarakat bertahan di tengah tekanan ekonomi saat ini, dan kebijakan fiskal yang bijaksana diperlukan agar ekonomi Indonesia dapat tumbuh secara berkelanjutan tanpa membebani masyarakat luas.

Exit mobile version