JAKARTA, 15 Oktober 2024 – Rencana prefunding SBN diprediksi membuat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia bakal melonjak.
Hal itu disesbkan sejumlah faktor, peningkatan aliran masuk modal asing pada Surat Berharga Negara [SBN] domestik.
Menanggapi hal itu, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Ramdan Denny Prakoso mengungkapkan, kenaikan utang pemerintah Indonesia masih dalam posisi yang terkendali.
Posisi Utang Luar Negeri (ULN) tersebut tumbuh sebesar 4,6% (year on year/YoY), lebih tinggi dari pertumbuhan pada Juli 2024 sebesar 0,6% (YoY).
Meski demikian, utang Pemerintah diprediksi bakal terus mencatatkan kenaikan hingga akhir tahun menuju US$218,4 miliar.
Hal itu, sejalan dengan rencana pemerintah melakukan prefunding Surat Berharga Negara (SBN) untuk pembiayaan APBN 2025.
Seiring dengan semakin terjaganya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
Prefunding SBN, ULN Masih Terkendali
Hal senada disampaikan, Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto secara umum ULN Pemerintah masih terkendali.
Baik secara pertumbuhan maupun rasio terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menurutnya, ULN Pemerintah masih akan terus tumbuh dengan rasio terhadap PDB terjaga di sekitar 31% hingga akhir tahun.
“ULN akan tumbuh sekitar 8,8% year on year [YoY] atau senilai US$218,4 miliar, itu untuk kondisi di mana pemerintah melakukan prefunding pada akhir tahun,” ujarnya.
Myrdal melihat untuk saat ini kondisi pasar keuangan sangat suportif untuk penerbitan utang luar negeri berdenemoninasi asing. Mengingat, kondisi iklim suku bunga saat ini tengah menurun ditambah fluktuasi nilai tukar rupiah masih terjaga dengan level masih di bawah Rp15.800 per dolar AS.
Ramai diberitakan pada Selasa, (15/10/2024) rupiah ditutup menguat tipis 0,08% ke Rp15.565,5 per dolar AS.
“Di sisi lain prospek suku bunga global masih akan terus menurun, timing sangat baik mengoptimalkan pendanaan dari luar negeri,” lanjutnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah berencana melakukan penerbitan SBN untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 atau tahun pertama pemerintahan Prabowo Subianto. Meski tahun anggaran belum mulai.
Prabowo selaku presiden terpilih akan melakukan penarikan utang baru senilai Rp775,87 triliun pada tahun pertama pemerintahannya atau pada 2025.
Jumlah tersebut untuk memenuhi kebutuhan APBN, mengingat defisit APBN direncanakan sebesar 2,53% pada tahun depan.
Meski demikian, Myrdal tetap memberikan alarm terkait kondisi geopolitik di Timur Tengah, walaupun pergerakan harga minyak memberikan dampak yang terbatas.
Pemilu AS Turut Berpengaruh
Sementara untuk kondisi ekonomi di AS, pemilihan presiden di Negeri Paman Sam tersebut akan sangat mempengaruhi kebijakan suku bunga Federal reserve (The Fed).
Secara umum, dengan melihat dotplot terakhir, dirinya masih melihat adanya ruang penurunan suku bunga masih terbuka sampai 2026.
“Begitu terpilih presiden di sana, bisa jadi ada skenario berbeda yang membuat prospek kebijakan suku bunga The Fed berbeda dari kondisi sekarang, itu yang kita waspadai,” jelasnya.
Lain kesempatan, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira justru melihat risiko yang sangat mungkin terjadi dengan kenaikan jumlah ULN.
Di mana kenaikan ini menunjukkan bahwa pemerintah membutuhkan pembiayaan eksternal dari utang luar negeri untuk menutup defisit anggaran, tapi juga untuk mempersiapkan belanja di awal tahun 2025 ke depan.
Baik untuk belanja yang sifatnya konsumtif di pemerintahan, belanja barang, belanja pegawai, bahkan belanja pembayaran bunga utang yang direncanakan lebih dari Rp500 triliun pada tahun depan.
Secara umum, recana belanja dalam APBN senilai Rp3.621,3 triliun.
Menurutnya belanja yang besar dan ditutup melalui utang, hal tersebut berkorelasi dengan rendahnya rasio pajak sampai sejauh ini.
“Maka peningkatan utang luar negeri ini tidak lagi menjadi leverage [daya ungkit], tapi justru bisa menghambat pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.
ULN Diarahkan Mendukung Sektor Produktif
Denny menjelaskan, sebagai salah satu instrumen pembiayaan APBN, pemanfaatan ULN terus diarahkan untuk mendukung pembiayaan sektor produktif serta belanja prioritas guna menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Bank Indonesia menekankan ULN pemerintah tersebut tetap dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel untuk mendukung belanja negara.
Utamanya, ULN pemerintah terbesar pada sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial yang menjelaskan US$41,95 miliar atau mencakup 20,9% dari total ULN pemerintah.
ULN pemerintah terbesar kedua mengalir pada sektor Administrasi Pemerintah, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib senilai US$37,97 miliar atau menjelaskan 18,9% dati total ULN Pemerintah.
Sementara ULN pemerintah juga mengalir cukup besar pada sektor Jasa Pendidikan US$33,65 miliar (16,8%), sektor Konstruksi US$27,19 miliar (13,6%), serta Jasa Keuangan dan Asuransi US$18,85 miliar (9,3%).
“Posisi ULN pemerintah tetap terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN pemerintah,” tegas Denny.
Secara umum, Bank Indonesia melaporkan pada hari-hari menjelang pergantian presiden dari Jokowi ke Prabowo, posisi Utang Luar Negeri Indonesia berada di angka US$425,1 miliar pada Agustus 2024.
Nilai utang tersebut naik 7,3% dari posisinya pada bulan yang sama tahun lalu. Angka tersebut setara dengan Rp6.635,81 triliun (asumsi kurs Rp15.610 per dolar AS).
Melihat posisi ULN pemerintah yang senilai US$200,4 miliar atau dengan porsi 47,14%, artinya menjelaskan hampir setengah utang luar negeri Indonesia.
Sisanya, ULN milik bank sentral, yakni Bank Indonesia dan swasta yang masing-masing senilai US$28,79 miliar dan US$197,85 miliar.