Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan restrukturisasi pasar fintech atau fintech lending untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
“OJK idealnya melakukan restrukturisasi pasar fintech, yang meliputi standar operasional bisnis pinjaman online, penggunaan Fintech Data Center (FDC) yang optimal untuk risk assessment dan perlindungan konsumen,” kata Peneliti CIPS Thomas Dewaranu, Senin (25/10).
Dia menjelaskan, perlindungan yang diperlukan bagi nasabah pinjaman P2P lending ini terutama dalam hal transparansi persyaratan dan ketentuan pinjaman, serta penggunaan data pribadi untuk keperluan penagihan pembayaran.
“Hal ini juga dibutuhkan untuk mengevaluasi kebijakan yang ada dan untuk memperkuat perlindungan data nasabah,” ujar Thomas.
PPKM Picu Masyarakat Meminjam di Fintech Lending
Thomas pun menuturkan, pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berdampak pada pendapatan dan daya beli beberapa kalangan sehingga mendorong mereka untuk mencari pinjaman termasuk secara daring melalui skema peer-to-peer (P2P).
Untuk itu, sambungnya, pemerintah perlu memastikan perlindungan yang memadai bagi nasabah layanan financial technology ini.
Sebab, pinjaman jangka pendek payday loan, adalah salah sektor bisnis pinjaman P2P yang paling diminati. Namun, jenis pinjaman ini juga yang paling banyak menimbulkan kontroversi.
Ketidakmampuan membayar utang yang membengkak dari pinjaman online sangat dipengaruhi oleh ketidakpahaman bahwa pinjaman online menarik bunga yang jauh lebih besar dari kredit bank pada umumnya.
“Bagi sebagian nasabah, hal ini juga diperparah oleh hilangnya sumber pendapatan mereka akibat kebijakan PPKM,” tuturnya.
Standar Penagihan Utang Hingga Menjaga Privasi Konsumen
Ia pun mengungkapkan, standar operasional bisnis pinjaman online yang perlu diatur meliputi, perlindungan data, transparansi bunga dan biaya yang harus dibayar peminjam, serta yang paling penting standar proses penagihan utang.
Selain itu, yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah masalah penyalahgunaan atau penggunaan data konsumen secara eksesif seperti kontak, lokasi, dan galeri dalam telepon seluler untuk digunakan dalam proses penagihan utang yang intimidatif.
Di lain pihak, pemilik data harus menyadari risiko data yang mereka berikan, hingga mereka harus bersikap hati-hati dan cermat dalam memberikan data.
Untuk itu dia pun menekankan pentingnya meningkatkan literasi keuangan masyarakat, seiring dengan peningkatan penetrasi layanan fintech di tengah masyarakat.Menurutnya, pemilik data harus sadar apa saja data yang diperlukan terkait dengan tujuan layanan.
“Masalahnya, fintech lending jenis payday loan ini kebanyakan menyasar konsumen kelas menengah ke bawah, yang mayoritasnya masih belum melek literasi keuangan,” ucapnya.
Adapun, dalam aturan mengenai fintech yang tertuang dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, setiap fintech yang beroperasi di Indonesia diharuskan untuk mencatatkan diri ke OJK secara legal lewat prosedur yang berlaku.
Walaupun secara peraturan OJK hanya dapat mengatur perusahaan fintech yang terdaftar, tetapi OJK dapat bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lain dan lebih gencar dalam melakukan pemblokiran pemberi pinjaman ilegal ini untuk melindungi konsumen.
AFPI Turunkan Bunga Pinjaman 50%
Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah mengumumkan penurunan batas atas biaya pinjaman hingga 50%, menjadi tidak melebihi suku bunga flat 0,4% per hari.
Biaya pinjaman ini sudah meliputi total bunga, biaya pinjaman dan biaya-biaya lain di luar biaya keterlambatan. Hal tersebut, disampaikan oleh Adrian Gunadi, Ketua Umum AFPI dalam Diskusi Media, Jumat (22/10).
“Kami sudah melakukan review dan kesepakatan untuk menurunkan batas atas maksimal pinjaman bunga sampai kurang lebih 50% tentunya sebagai salah satu upaya agar Fintech Pendanaan Bersama ini lebih terjangkau sehingga masyarakat bisa membedakan yang ilegal dan resmi dengan harganya yang sangat kompetitif,” jelas Adrian.
Di samping itu, sebagai bagian dari usaha AFPI untuk ikut berperan aktif memberantas pinjol ilegal, AFPI juga sudah melakukan penyusunan kode etik asosiasi.
Kode etik ini berkaitan dengan pembatasan bunga asosiasi, tata cara penagihan, ketentuan mengenai akses data, pembentukan komisi etik, yang kesemuanya sudah dibangun oleh asosiasi sejak tiga tahun lalu, dan bertujuan untuk membedakan antara pinjol legal dan ilegal.
AFPI juga sudah melakukan tindakan tegas anggota APFI yang berafiliasi dengan pinjol ilegal, mengadakan sertifikasi yang berkaitan dengan agen debt collection, dengan harapan bisa memberikan standar aspek penagihan yang sesuai dengan code of conduct, pedoman perilaku yang menjadi dasar operasional pinjol legal.
Sedangkan, yang berkaitan dengan pengaduan masyarakat, AFPI telah memiliki Layanan Pengaduan AFPI (JENDELA) di hotline 150505 atau email ke: pengaduan@afpi.or.id. Laporan tersebut akan AFPI tindaklanjuti demi meningkatkan kedisiplinan semua anggota AFPI.
Penulis: Nanda Aria
Editor: Anju Mahendra