Site icon Dunia Fintech

Antara Saham New Economy dan Old Economy, Mana Lebih Untung?

saham new economy dan old economy

Saham new economy dan old economy merupakan istilah yang saat ini sedang naik daun dalam beberapa tahun terakhir. Diskusi perbincangan investor Indonesia seputar perbandingan kedua saham tersebut semakin santer sejak beredarnya kabar rencana IPO (Initial Public Offering) sejumlah startup unicorn lokal, seperti Bukalapak, Go-Jek Tokopedia (Go-To), dan Traveloka.

Euforia dari ekonomi terbaru saat ini bahkan melambungkan valuasi saham-saham teknologi hingga belasan dan puluhan kali lipat. Akan tetapi, benarkah perlu untuk memindahkan seluruh investasi dari saham lama ke saham baru. Tentu saja hal tersebut tidaklah sederhana, karena pertama-tama perlu untuk mengetahui terlebih dahulu perbedaan tentang hal tersebut.

Apa itu Saham New Economy dan Apa Ciri-cirinya?

Saham New Economy adalah saham dari perusahaan yang ikut andil dalam revolusi teknologi keempat dari abad 21 melalui proses pertumbuhannya berfokus pada layanan teknologi berbasis internet. Perusahaan tersebut biasanya akan mengelola bisnis e-commerce (toko online), fintech (financial technology), media sosial, cryptocurrency (mata uang kripto), dan lain sebagainya. 

Saham teknologi paling top di dunia adalah FAANG, FAANG merupakan istilah dari Facebook, Apple, Amazon, Netflix, dan Google. Namun ada juga saham teknologi asal Tiongkok, yaitu Alibaba, Meituan, Baidu, dan Ant Group (Operator Alipay). Akan tetapi saham teknologi di Indonesia terwakili oleh BUKA (Bukalapak), ARTO (Bank Jago), EMTK (Elang Mahkota Teknologi), MLPT (Multipolar Teknologi), TLKM (Telekomunikasi Indonesia), ISAT (Indosat), dan lain sebagainya.

Jumlah saham yang ada di Indonesia mungkin akan terus meningkat seiring dengan dibukanya pipeline khusus melalui papan akselerasi untuk mempermudah IPO bagi startup lokal. Perusahaan new economy menyediakan inovasi untuk melakukan pertukaran layanan lebih cepat, mudah, dan tanpa batas, berikut ini adalah ciri-cirinya.

  1. Volatilitas saham relatif tinggi dan pendapatan, arus kas, dan laba perusahaan cenderung kurang stabil.
  2. Perusahaan belum tentu memberikan dividen secara rutin atau setiap hari, bahkan Facebook, Apple, Amazon, Netflix, dan Google hingga saat ini belum pernah membagikan dividen sama sekali.
  3. Perusahaan akan senantiasa berinovasi aktif untuk mencapai sebuah terobosan baru dan membukakan peluang baru untuk dapat mengubah interaksi antar individu. Karena, mungkin saja perusahaan membutuhkan suntikan modal besar secara rutin atau terus-menerus, memiliki rasio utang tinggi, atau memilih untuk investasi ulang (re-invest) laba yang telah diperoleh.
  4. Beban usaha relatif lebih murah karena perusahaan hanya membutuhkan lebih sedikit biaya penjualan dan operasional. Kebutuhan SDM lebih berfokus pada kualitas dibandingkan kuantitas, perusahaan juga tidak memerlukan banyak kantor atau gerai untuk menyimpan dan mendistribusikan barang atau layanan.

Kinerja keuangan saham ini memang belum mapan, sehingga tidak dapat menggunakan parameter analisis fundamental yang sama dengan saham old economy. Karena biasanya, analisis saham ini lebih berfokus pada ekspektasi pertumbuhan dan estimasi pendapatan mendatang daripada kinerja keuangan teraktual.

Apa itu Saham Old Economy dan Apa Ciri-cirinya?

Saham Old Economy adalah tingkatan tertinggi Revolusi Industri di awal abad kedua puluh dan telah berkembang melewati banyak siklus pasar untuk menjadi bisnis matang dan berfokus pada produksi berskala tinggi. Sekarang ini kebanyakan saham old economy merupakan market leader di bidangnya dan sudah mendominasi sejak era dotcom bubble pada tahun 1990-an.

Karena itu saat ini banyak investor menganggap saham old economy identik dengan saham Blue Chip, sebab mereka memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut:

  1. Volatilitas saham relatif rendah dan pendapatan, arus kas, serta laba perusahaan cenderung stabil.
  2. Perusahaan membagikan dividen secara terus-menerus atau rutin sehingga imbal hasil investasi relatif konsisten dilakukan dari tahun ke tahun.
  3. Perusahaan akan terus berinovasi dalam segmen pasar mereka kuasai, namun aktivitas bisnis utama masih relatif tradisional.
  4. Keterlibatan di sektor teknologi digital yang dimiliki oleh perusahaan masih rendah, karena alokasi atau penempatan investasi minim atau diversifikasi usaha minor saja pada sektor tersebut.
  5. Operasional kurang efisien dan beban usaha relatif tinggi, sebab perusahaan cenderung padat karya dan membutuhkan jaringan kantor atau gerai yang luas.

Sebagai contoh saham old economy pada taraf internasional, yaitu produsen mobil Ford (F), produsen deterjen Procter & Gamble (PG), dan raksasa migas Exxon Mobil (XOM). Sedangkan di Indonesia meliputi Unilever Indonesia (UNVR), Indofood CBP Sukses Makmur (ICBP), Adaro Energy (ADRO), dan lain sebagainya.

Mana Lebih Untung dari Kedua Saham Tersebut?

Seperti pada paparan di atas, sepintas memang saham old economy lebih menguntungkan karena memberikan dividen secara rutin. Namun, perlu diketahui bahwa keuntungan dari saham tidak hanya dari sumber dividen saja, melainkan juga dari capital gain.

Saham old economy diketahui bahwa sudah matang sehingga memiliki potensi pertumbuhan lebih lanjut akan cenderung lebih lambat. Karena kematangan bisnis membuatnya mampu untuk memberikan dividen secara konsisten sampai saat ini, akan tetapi hal tersebut akan membuat capital gain cenderung minim karena pertumbuhan harga yang lamban.

Sebaliknya dari saham old economy, yaitu saham new economy memiliki peluang pertumbuhan lebih besar dan lebih disukai oleh para spekulan. Hasilnya adalah harga dari saham tersebut jauh lebih volatile, volatilitas saham tersebut membuka peluang capital gain lebih besar dibandingkan saham old economy. Namun, risiko di samping itu terbilang lebih tinggi dibandingkan saham old economy.

Kesimpulan

Kedua saham tersebut sama-sama mempunyai prospek keuntungan masing-masing, namun keduanya memiliki karakteristik, profil risiko, dan potensi return yang berbeda. Oleh karena itu, investor perlu untuk membedakan karakteristik dari kedua jenis saham ini kemudian memilih saham sesuai dengan toleransi risiko pribadi.

Saham old economy memiliki risiko lebih rendah dan mampu memberikan pendapatan dan pertumbuhan yang stabil, oleh karena itu kategori ini sangat cocok untuk para income investor, value investor, dan siapa saja yang memiliki profil risiko konservatif. Sebaliknya dari saham ini merupakan saham dengan risiko lebih tinggi dan belum tentu memberikan dividen, akan tetapi memiliki potensi capital gain lebih tinggi. Oleh karena itu, kategori saham ini sangat cocok bagi trader jangka pendek, growth investor, dan siapa saja bagi yang memiliki profil risiko agresif.

Namun, bisa juga untuk menggabungkan keduanya untuk diversifikasi portofolio. Sebagai contoh, seorang investor memiliki profil risiko menengah dan memungkinkan untuk mengolah kedua saham tersebut dan mengoleksi portofolio dari keduanya.

 

Penulis: Kontributor

Editor: Anju Mahendra

Exit mobile version