Site icon Dunia Fintech

Semakin Bertumbuh, Kini Fintech Telah Menyaingi Peran BPR di Pasar Indonesia

Semakin Bertumbuh picture

duniafintech.com – Kemajuan teknologi informasi turut mendorong perubahan dan inovasi pada sektor layanan keuangan. Hadirnya teknologi keuangan alias financial technology  (Fintech) yang semakin bertumbuh, masyarakat yang dulunya belum tersentuh layanan perbankan, kini dapat mengakses produk dan layanan keuangan yang dibutuhkan.

Direktur Komisoner OJK Institute dan Keuangan Digital, Sukarela Batunanggar, menilai Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi bagus untuk mengembangkan Fintech. Tak heran, banyak pengembang Fintech Peer-to-Peer (P2P) lending ilegal yang menyasar ke Indonesia.

Batunanggar pun mengatakan:

“Indonesia memang pasarnya sangat besar, lalu potensinya juga besar. Potensinya bagus cuma di sisi lain literasi harus ditingkatkan, infrastruktur ditingkatkan, koordinasi lebih baik lagi dan law-enforcement [yang] lebih baik.”

Sebagai bukti banyaknya pengembang Fintech ilegal, pada bulan Maret 2019 lalu, Satgas Waspada Investasi telah menemukan 543 entitas ilegal. Pada tahun sebelumnya ditemukan 404 entitas tak berizin, sehingga secara total Satgas Waspada Investasi telah menangani sebanyak 947 entitas. Batunanggar pun mengungkapkan:

“Saat ini [sudah ada] sebanyak 106 Fintech P2P lending yang sudah terdaftar di OJK. Ini terus meningkat dibandingkan Februari 2019 yang baru berjumlah 99 perusahaan.”

Disisi lain, OJK akan mengeluarkan Peraturan (POJK) terkait penggabungan, peleburan dan pengambilalihan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan aturan ini, BPR harus memenuhi modal inti minimum dengan sejumlah cara seperti akuisisi, merger, dan lain-lain.

Menyikapi Fintech di Indonesia yang semakin bertumbuh, OJK pun mendorong industri perbankan agar dapat mengembangkan teknologi layanan keuangan berbasis digital. Salah satunya adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), guna menghadapi persaingan bisnis dengan bank umum sekaligus pembenahan pada sistem layanan nasabah BPR yang juga harus bersaing dengan para perusahaan Fintech yang serba digital.

Baca

Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR OJK, Ayahandayani mengatakan, untuk bisa bersaing, BPR harus bisa mengadopsi teknologi serta pelayanan layaknya perusahaan Fintech. Meski begitu, adopsi ini butuh biaya mahal.

Ayahandayani pun mencatat, dengan memenuhi modal inti diharapkan BPR bisa mengembangkan layanannya. Ia pun mengatakan:

“Kalau mereka [BPR] sendiri-sendiri, mereka wajib memenuhi minimal Teknologi Informasi (TI), tentunya mahal. Kalau bergabung [dalam] merger, kita harapkan [akan] lebih efisien. Tidak lagi sendiri-sendiri.”

Namun, OJK masih meyakini bahwa BPR akan mampu bersaing dengan industri Fintech. Apalagi dari penerapan suku bunga, BPR terbilang lebih rendah dibandingkan dengan Fintech yang artinya masyarakat bisa menikmati dana lebih murah menggunakan jasa BPR.

Ayahandayani pun mengatakan:

“Fintech ini jadi persaingan bagi BPR. Tapi kan Fintech kalau kita lihat suku bunganya tinggi[sekitar] 2 persen sampai 3 persen per bulan. Lebih tinggi dibandingkan dengan BPR yang mengacu pada Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) [yakni] 9,5 persen.”

Baca

Ketua Kompartemen BPR Syariah Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Cahyo Kartiko, pun menambahkan, untuk menghadapi persaingan dengan Fintech, BPRS harus memiliki strategi bertahan dan ekspansi. Namun ciri khas BPRS sebagai community banking harus tetap dipertahankan.

Cahyo pun menambahkan:

“BPRS juga harus memiliki layanan yang setara dengan Fintech yang dapat diakses oleh para nasabah agar kedekatan yang telah terjalin dengan nasabah menjadi lebih erat dan dipermudah dengan bantuan teknologi, sehingga nasabah semakin loyal dan tidak tergoda untuk berpindah ke Fintech.”

Baca

picture: pixabay.com

-Syofri Ardiyanto-

Exit mobile version