Site icon Dunia Fintech

Mehamami Definisi Sovereign Wealth Fund hingga Kontroversinya

Sovereign wealth fund

Sovereign wealth fund Indonesia sudah resmi dibentuk. Sebelumnya, wacana SWF di tanah air ini pun memanen banyak kontroversi. Namun, pemerintah tetap kukuh untuk membentuknya. 

Bahkan, demi mewujudkan SFW ini, Presiden Joko Widodo mengukuhkan lima orang sebagai dewan direksi di lembaga pengelola investasi ini dan menyertakan modal dari APBN sebesar Rp15 triliun.

Apa Itu Sovereign Wealth Fund

Pada dasarnya, SWF adalah dana investasi yang dikelola atau dimiliki oleh suatu negara atau pemerintah. Biasanya, dana yang dikelola ini berasal dari cadangan surplus pendapatan suatu negara.

Adapun negara dengan surplus pendapatan bakal menginvestasikan surplus ini ke SWF milik mereka ketimbang hanya menjadikannya sebagai simpanan di Bank Sentral. Di sisi lain, tujuan SWF Indonesia ini tentu saja untuk mendapatkan return, seperti du dunia investasi. 

Terkait persoalan likuiditasnya, negara yang khawatir akan hal ini dibandingkan return dapat membatasi investasi SWF hanya pada instrumen surat utang yang sangat likuid. Adapun tujuan suatu negara mendirikan SWF pada dasarnya berbeda-beda sebab hal itu sangat bergantung pada kepentingan ekonomi.

Perkembangan Sovereign Wealth Fund di Indonesia

Sejatinya, sebelum Presiden Joko Widodo meresmikan SWF Indonesia, di tanah air pernah ada lembaga pengelola investasi. Pada tahun 2007, Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 52/PMK.01/2007 membentuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP). 

Pembentukan PIP ini sudah mengacu pada skema SWF milik Singapura, yakni Government Investment Center (GIC) dan Temasek Holding dan SWF milik Malaysia yang bernama Khazanah Nasional. 

Saat itu, suntikan modal awalnya senilai Rp4 triliun. Akan tetapi, sebab dianggap tidak berkembang, PIP kemudian dilikuidasi pada 2015 dan ditutup melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.06/2015.

Seiring bergulirnya waktu, melalui keputusan yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi dan resmi ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Desember 2020, Indonesia akhirnya resmi punya SWF sendiri, yang dinamai Indonesia Investment Authority atau INA.

Adapun perbedaan INA dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) adalah  BKPM merupakan lembaga perizinan dan regulator yang berfungsi mengurus perizinan investasi, bukan sebagai pelaksana investasi sehingga lembaga ini tidak punya skema investasi.

Di sisi lain, INA punya skema investasi dan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah investasi secara jangka panjang untuk mendukung pembangunan. INA sendiri dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah investasi di Indonesia, khususnya bagi para investor yang ingin berinvestasi di Indonesia, tetapi sering kali batal lantaran terkendala ketidakpastian hukum.

INA juga bagian dari UU Omnibus Cipta Kerja yang sudah disahkan dan diharapkan memberikan dampak bagi iklim usaha dan investasi di Indonesia. Lain halnya dengan negara teluk Arab yang membentuk SWF dengan modal dari cadangan surplus, Indonesia yang selalu mengalami defisit pendapatan negara menggunakan dana APBN 2020 sebesar Rp15 triliun untuk menjadi modal awal INA.

Pemerintah sendiri diketahui berambisi untuk meningkatkan modal pada 2021 hingga berjumlah Rp75 triliun.  Kendati terdengar ambisius, tetapi pada akhir 2020 lalu sejatinya pemerintah berhasil mengumpulkan dana investasi dari UEA, Jepang, Kanada, hingga Amerika Serikat dengan nilai mencapai 30,8 miliar dolar AS.

Apabila semua komitmen investasi itu dipenuhi, Indonesia sudah berhasil mengumpulkan dua kali lipat dana investasi dari target awal. Namun, sejauh ini dana investasi belum terealisasi.

Kontroversi INA di Kalangan Publik

Adapun suntikan modal awal bagi INA adalah Rp75 triliun. Akana tetapi, dana tunai yang tersedia hanya sebesar Rp30 triliun, sedangkan selebihnya hanya berupa piutang negara, barang, aset, dan saham BUMN. Dengan demikian, total modal yang diterima oleh INA baru sebesar Rp15 triliun (berasal dari APBN 2020).

Diketahui, modal itu terbilang minim untuk lembaga pengelola investasi, seperti SWF, sebab modal INA lebih banyak berasal dari luar pemerintah. Lain halnya dengan SWF yang dimiliki oleh negara teluk Arab atau Singapura, yang modalnya diketahui berasal dari cadangan surplus. Padahal, SWF ini sebenarnya dibentuk untuk mengelola “wealth” suatu negara, sedangkan modal awal untuk membentuk INA berasal dari APBN yang berstatus defisit sehingga hal itu dianggap membebani keuangan negara.

Maka dari itu, pembentukan SWF ini pun menuai kontra di kalangan publik hingga muncul kecurigaan. Adapun kekhawatiran publik sendiri tentu beralasan sebab merujuk pada PP No. 74 Tahun 2020, apabila INA mengalami kerugian, pemerintah dapat menambah modal dan hal itu berpotensi merugikan negara jika INA terus menunjukkan kinerja buruk. 

Di samping itu, deretan kasus korupsi juga mencuatkan kekhawatiran publik ketika pemerintah membentuk SWF yang bakal mengelola ratusan triliun aset pemerintah. Lembaga Pengelola Investasi (LPI) bernama Indonesia Investment Authority (INA) itu dikhawatirkan akan bernasib serupa 1Malaysia Development Berhad (1MDB), yang dihajar skandal korupsi dan pencucian uang bernilai miliaran dollar.

Persoalan lainnya yang menarik perhatian, yakni peran kementerian keuangan yang tetap memiliki tugas mengelola investasi pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja. Itu berarti, menteri keuangan bakal ikut dalam urusan operasional INA. Hal itu berbeda dengan skema SWF singapura, yakni GIC dan Temasek Holdings.

Pasalnya, GIC punya tugas mengelola surplus cadangan devisa untuk berinvestasi di luar mata uang Singapura, sementara Temasek Holding bertugas mengelola BUMN. Karena itu, dalam dua lembaga pengelola investasi tersebut, menteri keuangan jelas hanya berperan sebagai pemilik saham mewakili pemerintah.

Namun, di tanah air, posisi menteri acap kali merupakan hasil tawar-menawar politik sehingga banyak menteri terafiliasi dengan partai politik atau kepentingan kelompok tertentu. Walaupun saat ini menteri berasal dari berasal dari kalangan profesional, tetapi tidak ada jaminan posisi ini akan terus diisi dari unsur profesional. Hal itu tentu saja nantinya bakal memicu isu kepercayaan dan independensi lembaga bagi calon investor.

Dampak INA terhadap Forex, Saham, atau Komoditi

Sejauh ini, masih belum ada sumber valid yang menyebut bahwa INA akan berdampak secara langsung terhadap investasi forex, saham, dan komoditi. Hal itu berarti bahwa Sovereign Wealth Fund seperti INA tidak bakal berdampak secara signifikan pada investasi dan hanya berpengaruh kepada kebijakan makro dan fiskal nasional. 

Apalagi, investasi forex lebih banyak dipengaruhi oleh ekonomi negara atau kebijakan moneter suatu negara yang mata uangnya paling banyak diperdagangkan secara global, misalnya Amerika Serikat dan Inggris. Demikian halnya dengan emas yang fluktuasinya juga dipengaruhi oleh kurs mata uang dan suku bunga imbas keputusan Bank Sentral AS. 

Sementara itu, fluktuasi harga minyak disebabkan oleh permintaan dan penawaran serta permasalahan ekonomi dunia dan kondisi politik.

 

Penulis: Kontributor

Editor: Anju Mahendra

Exit mobile version