JAKARTA, duniafintech.com – Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, geram atas tindakan grup Texmaco yang berutang mencapai Rp32 triliun. Terkait hal itu, pada Kamis (23/12) kemarin, Satgas BLBI telah menyita aset milik grup Texmaco dengan total mencapai 4.794.202 meter persegi (m2), yang tersebar di 5 daerah.
Langkah penyitaan ini juga dalam rangka menyelesaikan utang yang dimiliki oleh perusahaan tersebut sewaktu terjadi krisis keuangan pada tahun 1997—1998 silam. Adapun total nilai utang Texmaco mencapai Rp31,72 triliun dan US$3,91 juta atau Rp55,9 miliar (asumsi kurs Rp14.300/US$).
Dilangsir dari CNBC Indonesia, Jumat (24/12), Sri Mulyani membeberkan kronologi grup Texmaco punya utang kepada pemerintah. Adapun utang itu juga tidak langsung ke pemerintah, tetapi melalui perbankan yang ketika krisis 22 tahun silam dibantu oleh negara.
“Seperti yang diketahui, grup texmaco adalah grup yang sebelum terjadinya krisis keuangan 97—98 meminjam ke berbagai bank, apakah bank itu milik BUMN, seperti BRI, kemudian BNI, Bank Mandiri, dan juga bank-bank swasta yang kemudian bank-bank tersebut di-bailout atau ditalangi pemerintah pada saat terjadi krisis dan kebangkrutan bank,” katanya pada konferensi pers virtual, kemarin.
Akan tetapi, imbuhnya, lantaran bank tempat Texmaco ini tidak mampu membayar utang pada pemerintah, seluruh yang menjadi hak tagihnya beralih ke negara. Pasalnya, dalam hal ini sudah membantu perbankan.
“Utang tersebut pada status macet pada terjadi krisis. Kemudian pada saat bank-bank dilakukan bailout oleh pemerintah maka hak tagih dari bank tagih dari bank-bank yang sudah diambil alih oleh pemerintah dengan menambahkan bailout, diambil alih oleh BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional),” jelasnya.
Disampaikannya, sejak awal, pemerintah melakukan penagihan ke grup Texmaco selalu melihat kondisi keuangan dan industrinya sehingga untuk melihat industri tesktilnya terus berjalan pemerintah kembali memberikan penjaminan LC (Letter of Credit) melalui bank BNI.
Adapun dalam proses itu, grup Texmaco dianggap sudah setuju untuk melakukan Master of Restructuring Agreement dengan pemerintah dan BPPN. Perjanjian itu ditandatangani sendiri oleh pemiliknya, yang berarti menyatakan setuju untuk menerbitkan exchangeable bonds yang akan menjadi pengganti utang-utangnya.
Akan tetapi, ketika proses berjalan, grup Texmaco juga gagal membayar dari kupon exchangeable bonds yang diterbitkan pada tahun 2004 lalu. Itu berarti, dengan waktu yang diberikan oleh pemerintah, grup ini tidak pernah membayar utangnya.
“Dengan demikian, pada dasarnya grup texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang telah dikonversi menjadi exchangeable bonds tersebut,” tegasnya.
Ia menerangkan, kendati gagal membayar utangnya, Texmaco mengakui bahwa mereka punya utang kepada pemerintah dan berjanji akan membayarnya. Hal itu pun ditandai dengan akta pengakuan atau akta kesanggupan untuk membayar utang plus tunggakan yang dimiliki oleh LC-nya. Di samping itu, pemilik Texmaco pun menyetujui bahwa tidak akan melakukan gugatan ke pemerintah. Akan tetapi, sekarang ini hal itu diingkari, bahkan mereka menjual aset yang telah dijadikan jaminan utang dan mengatakan utangnya kepada pemerintah hanya Rp8 triliun.
“Dalam perkembangan selanjutnya, pemilik tersebut sekali lagi tidak memenuhi akta kesanggupan tersebut, malah justru melakukan gugatan kepada pemerintah dan juga menjual aset-aset yang dimiliki operating companies-nya yang tadinya seharusnya membayar ke pemerintah Rp 29 triliun, justru operating company-nya menjual aset-aset yang seharusnya dipakai untuk membayar utang ke pemerintah,” paparnya.
Atas kondisi itu, diakuinya bahwa pemerintah masih memberikan peluang untuk dibicarakan dengan baik dengan memanggil pemiliknya. Akan tetapi, iktikad baik dari pemilik Grup Texmaco untuk membayar utangnya tidak ada sehingga pada akhirnya dilakukan penyitaan aset.
“Jadi, dalam hal ini pemerintah sudah berkali-kali memberi peluang bahkan mendukung agar perusahaan yang masih bisa berjalan, namun tidak ada sedikitpun ada tanda-tanda akan melakukan iktikad untuk membayar kembali. Oleh karena itu, pada hari ini pemerintah melakukan eksekusi terhadap aset. Ini adalah bentuk sesudah lebih dari 20 tahun memberikan uang dan waktu, kesempatan, dan bahkan mendukungnya dengan beri LC-nya jaminan,” tandasnya.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra