JAKARTA, duniafintech.com – Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati, marah karena Grup Texmaco malah menjual aset yang seharusnya dipakai untuk membayar utang kepada negara sebesar Rp29 triliun.
Menurut Ani, sapaannya, berdasarkan akta kesanggupan atau pengakuannya pada 2005, pemilik Grup Texmaco mengakui utangnya Rp29 triliun. Namun, debitur dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu justru menjual aset yang mereka miliki.
“Tahun 2005, kembali pemilik dari Grup Texmaco mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51 di mana pemilik menyampaikan bahwa pemerintah untuk membayar hak tagih kepada Texmaco, yaitu sebesar Rp29 triliun berikut jaminannya,” ucpanya dalam konferensi pers, Kamis (23/12) kemarin, dilangsir dari Detikcom.
Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menerangkan bahwa mereka menjanjikan bakal membayar utangnya kepada pemerintah lewat operating company dan holding company yang dianggap masih baik, termasuk untuk membayar Letter of Credit (L/C) yang saat itu diterbitkan oleh pemerintah untuk membantu perusahaan agar tetap beroperasi.
“Akan membayar tunggakan L/C yang waktu itu sudah diterbitkan oleh pemerintah untuk mendukung perusahaan tekstilnya sebesar US$80.570.000,” sebutnya.
Ia menjelaskan, dalam Akta Kesanggupan Nomor 51, pemilik Grup Texmaco sudah mengatakan tidak akan mengajukan gugatan ke pemerintah, tetapi pada akhirnya mereka justru menggugat.
“Dan yang kedua, menjual aset-aset yang dimiliki operating company, yaitu yang tadinya memiliki kewajiban untuk membayar Rp29 triliun, yang seharusnya membayar ke pemerintah Rp29 triliun, justru operating company-nya menjual aset-aset yang seharusnya dipakai untuk membayar pemerintah,” paparnya.
Dalam berbagai publikasi di media massa, pemilik Grup Texmaco bahkan menyatakan bahwa utangnya ke pemerintah hanya Rp8 triliun, padahal akta kesanggupannya telah menyebutkan bahwa mereka punya utang Rp29 triliun ditambah US$80,5 juta atas L/C yang diterbitkan, tetapi juga tidak dibayarkan.
Kronologi Texmaco tidak bayar utang sejak 98
Melalui Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI), pemerintah kemudian berhasil menyita aset salah satu debitur BLBI, Grup Texmaco. Adapun aset yang disita berupa tanah seluas 4.794.202 meter persegi.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati, kronologi awalnya adalah ketika terjadi krisis keuangan tahun 1998, Grup Texmaco meminjam uang ke berbagai bank, mulai dari bank BUMN sampai swasta.
“Kemudian bank-bank tersebut di-bailout atau ditalangi oleh pemerintah pada saat terjadi krisis dan penutupan bank,” ujarnya.
Adapun pinjaman yang tercatat dari Grup Texmaco, sambungnya, untuk divisi engineering mencapai Rp8,08 triliun dan US$1,24 juta. Selanjutnya, untuk divisi tekstilnya ada pinjaman sebesar Rp 5,28 triliun dan US$ 256,59 ribu. Belum lagi ditambah pinjaman dalam bentuk mata uang lainnya.
Diketahui, utang ini dalam status macet ketika terjadi krisis sehingga sewaktu bank-bank itu dilakukan bailout oleh pemerintah, hak tagih dari bank-bank yang telah diambil alih oleh pemerintah dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
“Dan dalam proses ini pun pemerintah selama ini masih cukup suportif terhadap Grup Texmaco, termasuk pada saat itu justru karena divisi tekstilnya masih tetap bisa berjalan, pemerintah melalui bank BNI memberikan penjaminan terhadap L/C-nya (Letter of Credit),” bebernya.
Sebagai informasi, dalam prosesnya, Grup Texmaco sudah melakukan agreement atau persetujuan dengan pemerintah mengenai master of restructuring agreement, yang ditandatangani sendiri oleh pemilik Texmaco. Dalam hal ini, sudah setuju bahwa utang dari 23 operating company Grup Texmaco bakal direstrukturisasi dan dialihkan pada dua holding company yang ditunjuk oleh pemiliknya, yakni PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana.
Lalu, untuk membayar kewajiban yang dimiliki oleh Grup Texmaco pada waktu ini disetujui bahwa bakal mengeluarkan Exchangeable Bond. Hal itu menjadi pengganti dari utang-utang yang telah dikeluarkan melalui bank yang dijamin oleh holding company yang ditunjuk tadi. Exchangeable Bond ini punya bunga untuk rupiah dengan tenor 10 tahun sebesar 14% dan untuk yang non rupiah atau dolar AS sebesar 7%.
“Di dalam perkembangannya, kembali lagi Grup Texmaco gagal membayar dari kupon Exchangeable Bond yang diterbitkan pada tahun 2004. Dengan demikian, pada dasarnya, Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang sudah dikonversi menjadi Exchangeable Bond tersebut,” ungkapnya.
Lantas, pada tahun 2005, pemilik Grup Texmaco kembali mengakui utangnya kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51, di mana pemilik menyampaikan bahwa hak tagih pemerintah kepada Texmaco sebesar Rp29 triliun berikut jaminannya.
Penulis: Kontributor
Editor: Anju Mahendra