Pengamat Ekonomi digital dari INDEF menyatakan bahwa Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) lebih penting dari pada UU mengenai Fintech. Ini juga untuk membantu menyeimbangkan antara industri fintech dan masyarakat indonesia.
Satgas Waspada Investasi (SWI) di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan agar dibuatnya Undang-Undang (UU) Fintech untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dan mengatur ekosistem industri jasa keuangan digital di dalam negeri.
Hanya saja, wacana tersebut mendapat tanggapan beragam dari berbagai kalangan, mulai dari pelaku usaha fintech sendiri hingga ekonom.
Pengamat ekonomi digital dari Institut for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda misalnya, menyebutkan bahwa seharusnya regulator seperti pemerintah, OJK, Bank Indonesia (BI), dan instansi terkait lainnya fokus untuk mendorong pengesahan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP), alih-alih memunculkan wacana pembentukan UU Fintech yang lebih spesifik.
Karena, UU Perlindungan Data Pribadi sendiri proses politiknya telah berjalan selama satu tahun di DPR RI dan tak kunjung disahkan. Padahal, UU PDP tersebut akan memberikan kejelasan terhadap keamanan dan perlindungan data maupun penegakan hukum terhadap pelanggaran penggunaan data, sebagaimana yang juga diinginkan oleh UU Fintech.
“Sebaiknya pemerintah, OJK, BI, dan instansi terkait fokus dahulu pada RUU Perlindungan Data Pribadi. RUU itu kan udah lama jadi difinishing saja. Kalau mengulang dan membagi fokus ke RUU Fintech bisa molor lagi,” katanya kepada DuniaFintech, Selasa (21/9).
Berikut 5 Fakta menarik tentang Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi
1. UU PDP Jadi Kunci Masalah Keamanan Data
Sebelumnya Ketua SWI OJK Tingan L. Tobing mengatakan bahwa keberadaan UU Fintech ini dibutuhkan untuk memberantas fintech lending ilegal yang kerap kali menyalahgunakan data konsumen dengan mengirimkan beberapa penawaran tanpa izin.
Karena itu, UU Fintech ini dibutuhkan agar penyelenggara fintech ilegal, termasuk manajemennya, dapat dipidana secara hukum tanpa ada aduan sebelumnya. Selama ini, hal itu tidak dapat dilakukan karena belum ada UU yang mengatur hal tersebut, sehingga hanya aduan yang masuk yang bisa diproses hukum. Itu pun tidak menyasar direksinya.
Namun, menurut Huda, akar dari permasalahan yang dihadapi konsumen dengan keberadaan fintech ilegal ini adalah tidak adanya perlindungan data pribadi. Sehingga, data penduduk mudah sekali bocor dan dimanfaatkan oleh platform pinjaman online (pinjol) yang tak bertanggung jawab ini.
“Jadi saya rasa adanya UU Perlindungan Data Pribadi ini menjadi kunci dari penyelesaian masalah keamanan data di ekonomi digital, termasuk fintech. Pak Tongnam terlalu muluk-muluk angan-angannya,” ujarnya.
2. UU PDP Sebagai Dasar Transaksi Digital
Selain itu, Huda pun menuturkan bahwa usulan OJK tersebut terlalu muluk-muluk dan sulit dilakukan, karena UU Fintech itu terlalu bersifat khusus atau lex specialist. Dia hanya mengatur ekosistem fintech, padahal kebutuhan terhadap perlindungan data dan keamanan dibutuhkan oleh semua aktor yang terlibat di dalam ekonomi digital.
Untuk itu, dia mengusulkan, jika pemerintah ingin menggodok satu aturan tentang keamanan dan perlindungan terhadap konsumen dan ekosistem digital di Indonesia, harusnya yang didorong untuk dibentuk adalah UU Ekonomi Digital, yang lebih bersifat umum dan mencakup semua ekosistem digital di dalam negeri.
“Saya rasa akan bagus jika yang diusulkan UU Ekonomi Digital karena masalah data dan keamanan aktor-aktor ekonomi digital juga menjadi masalah serius,” ucapnya.
Sementara, untuk menjaga ekosistem fintech di dalam negeri menurutnya cukup diatur oleh OJK dan BI sebagaimana telah berjalan sejauh ini. Dan, jika ditambah dengan keberadaan UU PDP sebagai landasannya akan semakin menguatkan dan memberi kepastian hukum bagi semua aktor di industri ini.
OJK Perlu Undang-Undang untuk Berantas Fintech Ilegal, Ini 6 Poin Penting
“Saya rasa peraturan di tingkat OJK dan BI cukup untuk mengatur fintech dan ditambah harus ada UU Perlindungan Data Pribadi sebagai dasarnya,” tuturnya.
3. UU Fintech Dikhawatirkan Membatasi Ruang Gerak Industri
Lebih jauh, Huda menilai bahwa keberadaan UU Fintech justru akan membatasi ruang gerak industri fintech nasional. Dengan aturan yang rigid di dalam UU akan membuat industri fintech di dalam negeri sulit berkembang dan berinovasi.
Padahal, sejauh ini industri ini telah berkembang dengan cepat di dalam negeri. Dikhawatirkan dengan adanya UU tersebut yang mengatur apa-apa yang boleh dan tidak dilakukan oleh industri fintech, penyelenggara akan cenderung hati-hati dan perkembangannya menjadi terhambat. Apalagi, industri ini bertumbuh seiring dengan perkembangan teknologi.
“Selain itu, UU yang rigid tentunya membuat ada kepastian hukum, namun di sisi lain bisa membatasi ruang gerak dari industri fintech,” kata dia.
4. UU Tak Secepat Gerak Teknologi
Hal senada pun disampaikan oleh Ketua AFPI Adrian Gunadi. Menurutnya jika tujuan pemerintah untuk memberi keamanan dan kenyamanan bagi konsumen, maka cukup dengan mendorong pengesahan UU PDP.
Sebab, lanjutnya, jika pemerintah mengatur secara rigid hal-hal terkait fintech secara khusus, dikhawatirkan UU tersebut tidak mampu mencakup semua hal terkait fintech. Karena, perkembangan teknologi yang digunakan di dunia digital bergerak sangat cepat.
“Cukup dengan UU PDP. Karena fintech bergerak sangat cepat. Apakah adanya UU bisa mengikuti perkembangan? Karena bisa-bisa fintech sudah berevolusi juga ke depannya dan berintegrasi dengan e-commerce,” katanya.
5. UU Reformasi dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI), Kuseryansyah mengatakan bahwa pihaknya belum mengetahui tentang teknis UU Fintech tersebut. Namun, dia mengatakan bahwa pihaknya telah mengusulkan sejumlah pasal untuk UU Reformasi dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan yang tengah digodok oleh Kementerian Keuangan dan DPR RI.
“Saat ini sedang berjalan penggodokan UU Reformasi dan Penguatan Sektor Jasa Keuangan. Setau kami ini sedang berjalan di Kementerian Keuangan dan juga di DPR RI. Jadi bukan UU khusus Fintech,” katanya pada DuniaFintech.
Adapun, saat diundang untuk memberi masukan pada UU tersebut pihaknya mengusulkan agar pada UU tersebut dimasukkan pasal yang mengatur bahwa hanya fintech pendanaan yang terdaftar dan diawasi OJK yang boleh menjalankan usaha.
“Bagi selain itu maka dapat dikenakan hukuman pidana dan denda,” ujarnya.
Dia melanjutkan, jika ada pasal yang memberikan hukuman pidana seperti itu, maka praktik pinjol ilegal yang sangat marak lima tahun terakhir ini bisa berkurang drastis. Karena aparat kepolisian bisa langsung menindak tanpa terlebih dahulu mensyaratkan adanya aduan seperti saat ini.
Menurutnya, pasal yang mengancam pidana kepada pinjol ilegal ini diperlukan agar tidak ada lagi pinjol yang beroperasi tanpa menaati aturan dan hukum yang berlaku sehingga dapat terwujud perlindungan terhadap konsumen pada satu sisi, dan pada sisi lain terus dapat mengakselerasi pemenuhan kredit kepada UMKM yang sangat membutuhkan pendanaan usaha.
Reporter : Nanda Aria
Kontributor : Gemal A.N. Panggabean