DuniaFintech.com – Maraknya penggunaan teknologi finansial (fintech) juga perlu diimbangi dengan adanya payung hukum yang menaunginya, yaitu dibuatnya UU fintech. Sebelumnya, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sudah mengusulkan pembuatan UU supaya menjadi dasar hukum yang kuat demi melindungi peminjam dari praktik pinjaman online ilegal.
Awal tahun lalu, AFPI membahas tiga isu strategis bersama Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko di Gedung Bina Graha, Komplek Istana Presiden. Isu tersebut di antaranya Undang-undang (UU) Fintech dan data pribadi pengguna. Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko menjelaskan, UU fintech terkait data pengguna semakin mendesak di era digital. Hal ini bertujuan memberikan rasa percaya bagi pengguna layanan keuangan digital.
Kedua, UU yang mengatur industri fintech dinilai penting. Ketiga, perlunya akses data ke Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dengan begitu, layanan menjadi lebih cepat dan ada verifikasi yang interkoneksi. Namun hingga saat ini usulan UU fintech belum ada kesepakatan yang pasti.
Sampai saat ini, aturan untuk fintech peer to peer lending masih berada di tataran hilir bukan hulu. Regulasi mengenai ketentuan fintech yang dikeluarkan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) masih berupa ketentuan administratif yang tertuang dalam POJK nomor 77/POJK.01/2016.
Baca Juga:
- Cara Cerdas Membedakan Pinjaman Online Legal dan Ilegal
- OJK: Waspadai Fintech Lending dan Investasi Ilegal di Masa Covid-19
- OJK Kembali Hentikan 140 Fintech dan 43 Penawaran Investasi Ilegal !
Langkah Efektif SWI untuk UU Fintech
Satgas Waspada Investasi (SWI) mengumumkan total entitas fintech lending ilegal yang ditangani sejak tahun 2018 sampai 31 Oktober 2019 sebanyak 1.773 entitas fintech lending ilegal. Jumlah tersebut berisiko terus bertambah seiring belum ada tindakan penangkapan pendiri usaha fintech ilegal.
Ketua SWI, Tongam Lumban Tobing mengatakan “kami kesulitan karena meski kami blokir mereka (fintech ilegal) dapat dengan mudah membuat aplikasi serupa dalam waktu cepat.”
Tongam menambahkan salah satu yang diperlukan saat ini berupa dukungan regulasi untuk menindak para pelaku fintech ilegal tersebut. Ia mendorong pemerintah bersama DPR RI segera mengesahkan UU fintech untuk menjerat pidana pendiri fintech ilegal. Sebab, regulasi saat ini sanksi yang diberikan masih sebatas administrasi berupa pemblokiran atau penghentian kegiatan usaha.
Tantangan lain dalam penindakan fintech ini yaitu tidak jelasnya keberadaan entitas. SWI sebelumnya mengumumkan berdasarkan hasil penelusuran terhadap lokasi server entitas tersebut, sebanyak 42% entitas tidak diketahui asalnya, diikuti dengan 22% dari Indonesia, 15% dari Amerika Serikat, dan sisanya dari berbagai negara lain. Namun, hal tersebut juga tidak menunjukkan identitas sesungguhnya dari pelaku di balik entitas tersebut.
Perlu diketahui, fintech ilegal bukan merupakan ranah kewenangan OJK karena tidak ada tanda terdaftar dan izin dari OJK sedangkan yang menjadi ranah kewenangan OJK adalah Fintech Peer-To-Peer Lending yang terdaftar dan berizin di OJK. Jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh Fintech Peer-To-Peer Lending yang terdaftar dan berizin di OJK maka OJK dapat melakukan penindakan terhadap Fintech tersebut.
Untuk saat ini, Satgas Waspada Investasi akan terus melakukan peningkatan literasi mengenai produk-produk keuangan legal maupun mendengarkan adua masyarakat mengenai kegiatan investasi ilegal.
(DuniaFintech/VidiaHapsari)