JAKARTA – Warisan utang telah menanti Pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto.
Utang tersebut merupakan warisan dari Presiden Jokowi.
Nilainya sangat fantastis.
Minimal dalam setahun harus siapkan Rp 800 Triliun.
Di masa kepemimpinan Presiden Jokowi utang Indonesia mengalami peningkatan tajam.
Bahkan, mendekati level berhaya.
Lonjakan utang itu terjadi di periode kedua Jokowi.
Tercatat selama tahun 2020, melonjak tajam dari tahun sebelumnya.
Kemudian pada tahun 2021 justru mengalami penambahan utang Rp 6.913,98 triliun.
Diperburuk dengan kondisi tahun 2024 kini sudah mencapai Rp 8.338,43.
Warisan Utang Era Jokowi: Prabowo Harus Bayar Rp800 Triliun Tiap Tahun
Menurut data April 2024 hal ini semakin buruk dengan meningkatnya rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Sebelumhya, PDB hanya 30,6% dari PDB pada 2019 kini sudah 38,64% dari PDB pada April 2024.
Menanggapi hal itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memberikan penilaian.
Menurutnya, melihat kondisi ini membuat investor menjadi gusar.
Hal itu disebakan Presiden Terpilih Prabowo Subianto akan menaikkan rasio utang hingga 15 persen dari PDB.
Apabila rasio dinaikkan kata Eko maka risiko ekenomi yang dihadapi akan semakin tinggi.
“Jadi salah siapa kalau defisit diperlebar? Investor kabur,” paparnya bertanya.
Eko menjelaskan, level utang Indonesia saat ini telah mencapai 300 persen.
Padahal, International Monetary Fund (IMF) menetapkan batas rasio utang aman dari penerimaan adalah 150 persen.
“Jadi 2 kali lipat dari batas aman,” kata Eko.
Warisan Utang Meningkat Tajam
Hal senada disampaikan Ekonom senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin.
Menurutnya, di masa Jokowi-lah utang Indonesia meningkat tajam.
Padahal, di Era Presiden SBY utang Indonesia sangat rendah.
Wijayanto menuding, Jokowi memanfaatkan kesempatan untuk terus menambah utang.
Komisi XI DPR RI bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat membahas utang Indonesia yang semakin bertambah.
Menurut Sri Mulyani, utang indonesia sudah sesuai dengan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara.
Rasionya kata Menkeu dipatok sebesar 60% terhadap PDB.
Sri Mulyani justru menyebut rasio utang Indonesia masih sangat aman.
Indonesia menambah utang kata Sri karena pemerintah membutuhkan banyak anggaran terutama saat menghadapi Covid-19.
Menkeu menilai seharusnya yang perlu difokuskan adalah pengelolaan utang.
Terutama menjaga batas rasio sesuai undang-undang.
Wijayanto menilai pemerintah kerap menggunakan patoran rasio sebagai batas aman pengelolaan utang.
Padahal kata Wijayanto, patokan ini tidak sesuai untuk digunakan.
Mencurigai patokan tersebut, Wijayanto kemudian melakukan pengamatan.
Kemudian ditemukan fakta, bahwa patokan yang digunakan pemerintah mengacu pada masa awal Uni Eropa sepakat menggunakan mata uang tunggal Euro.
Wijayanto menilai pemerintah salah dalam melihat dan mengambil patokan.
“Kondisi ekonomi Indonesia dan Uni Eropa berbeda,” paparnya.
Perbedaan itu sangat mencolok kata Wijayanto terutama dari segi rasio perpajakan (tax ratio).
Indonesia rasio pajak saat ini baru mencapai angka 10,4%.
Sementara Uni Eropa mematok angka 60 persen dengan nilai rasio pajak 41%.
“Kalau mau fair seharusnya batas rasio di angka 15 persen,” terangnya.
Tapi pemerintah kata Wijayanto seakan tidak melihat fakta tersebut.
“Yang jelas setengah penerimaan pemerintah habis hanya untuk bayar utang,” pungkasnya.